Halaman

Sabtu, 01 November 2025

Tafsir Positive Vibes

Pernahkah kamu merasa lelah, bukan karena tubuh, tapi karena pikiran yang terus berputar di tempat yang sama?

Kita semua pernah ada di titik itu — di mana hidup terasa seperti tumpukan masalah yang datang bergantian tanpa jeda.
Namun di antara semua itu, ada satu hal yang sering kita lupakan: cara kita menafsirkan hidup menentukan bagaimana kita menjalaninya.

Tafsir Positive Vibes lahir dari kesadaran sederhana itu.
Bahwa setiap situasi, seberat apa pun, bisa menjadi ruang tumbuh jika kita menatapnya dengan hati yang tenang.
Dan dalam perjalanan ini, ada tiga hal yang bisa menjadi pijakan: fokus pada solusi, konsisten pada diri sendiri, dan menjadikan hutang sebagai investasi.


🌤️ Belajar Fokus pada Solusi

Masalah sering kali terasa lebih besar dari seharusnya, bukan karena kenyataannya, tapi karena cara kita menatapnya.
Semakin lama kita menatap luka, semakin dalam ia terasa.
Namun begitu kita menggeser pandangan sedikit saja, kita akan menemukan ruang baru — ruang untuk sembuh, untuk belajar, untuk beranjak.

Allah berfirman:

“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.”
(QS. Al-Insyirah [94]: 6)

Ayat ini tidak sedang menenangkan kita dengan janji manis. Ia sedang mengajak kita berpikir berbeda — bahwa kemudahan tidak datang setelah kesulitan, melainkan bersamanya.
Masalah dan solusi diciptakan beriringan; tinggal bagaimana kita memilih untuk melihatnya.

Fokus pada solusi bukan berarti menolak kenyataan.
Ia berarti menerima bahwa kehidupan akan selalu punya ujian, tetapi kita tidak harus menjadi korban dari ujian itu.
Kita bisa memilih menjadi pembelajar.

“Masalah adalah peta, solusi adalah arah. Dan kita adalah pengemudi yang menentukan mau jalan ke mana.”


🌿 Tetap Konsisten pada Diri Sendiri

Begitu kita mulai menata arah, datanglah tantangan lain: bagaimana tetap menjadi diri sendiri di tengah suara dunia yang begitu ramai.

Konsistensi bukan berarti keras kepala, bukan pula enggan berubah.
Ia adalah kemampuan untuk tumbuh tanpa kehilangan akar.
Untuk tetap mendengar suara hati meski di luar sana semua orang sedang berteriak.

Allah berfirman:

“Maka tetaplah engkau (Muhammad) pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu...”
(QS. Hud [11]: 112)

Ayat ini terasa begitu lembut, tapi dalam maknanya tersimpan kekuatan besar.
“Tetaplah,” kata Allah — sebuah perintah yang sekaligus pelukan.
Seolah Ia ingin berkata: tetaplah menjadi dirimu, tetaplah di jalan yang kau yakini, bahkan saat dunia tak lagi mendukungmu.

Konsisten pada diri sendiri adalah bentuk cinta — cinta pada nilai, pada proses, pada perjalanan yang tak selalu mudah tapi selalu jujur.
Karena pada akhirnya, yang membuat kita damai bukanlah menjadi sempurna, tapi menjadi autentik.

“Kamu tak harus selalu berkilau. Cukup jadi cahaya yang tak padam di dalam dirimu.”


💫 Jadikan Hutang Sebagai Investasi

Kata hutang sering membuat banyak orang menunduk — terasa berat, menakutkan, bahkan memalukan.
Namun, jika kita melihat lebih dalam, hutang tidak selalu tentang uang.
Kadang kita berhutang waktu pada diri sendiri, menunda istirahat demi pekerjaan.
Berhutang maaf pada hati yang belum kita tenangkan.
Atau berhutang janji pada impian yang belum kita jalani.

Dalam pandangan positive vibes, hutang bukan beban.
Ia adalah pengingat, pelatih kesabaran, dan modal pertumbuhan.

Allah berfirman:

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia lapang. Dan bersedekahlah (memberi kelonggaran), itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 280)

Ayat ini mengajarkan kelembutan: bahwa dalam setiap hutang, ada ruang untuk kebaikan, empati, dan kemanusiaan.
Bagi yang berhutang, itu latihan untuk jujur dan disiplin.
Bagi yang memberi, itu kesempatan untuk bersedekah dengan sabar.

Jika disikapi dengan bijak, hutang bisa menjadi investasi spiritual — menumbuhkan kepekaan, keuletan, dan rasa syukur.
Karena pada akhirnya, pelunasan bukan sekadar menutup tanggungan, tapi menyempurnakan pembelajaran.

“Setiap hutang adalah janji untuk tumbuh. Dan setiap pelunasan adalah bentuk syukur karena telah diberi kesempatan untuk belajar.”


🌺 Penutup: Jiwa yang Tenang

Tafsir Positive Vibes bukan tentang menolak realitas, tapi tentang menerima hidup apa adanya sambil tetap memilih sikap terbaik.
Fokus pada solusi menuntun kita keluar dari kegelapan.
Konsisten pada diri sendiri menjaga cahaya kita tetap menyala.
Dan menjadikan hutang sebagai investasi membantu kita tumbuh dengan rendah hati.

Positive vibes sejati bukan sekadar merasa baik — tapi keputusan untuk tetap berpikir jernih, bertindak dengan cinta, dan mempercayai bahwa setiap hal terjadi untuk alasan yang baik.

Dan mungkin, ketika kita sudah cukup berlatih menerima dan belajar dari semua ini, jiwa kita akan sampai pada keadaan yang paling indah seperti firman Allah dalam Surah Al-Fajr:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
“Wahai jiwa yang tenang.”
(QS. Al-Fajr [89]: 27)

Sebuah panggilan lembut dari Tuhan untuk jiwa yang telah belajar berjalan dengan sabar, berjuang tanpa kehilangan arah, dan akhirnya menemukan ketenangan di tengah segala ketidakpastian.

Karena sejatinya, hidup ini bukan soal terbebas dari masalah,
tapi soal bagaimana kita menafsirkan setiap getarannya —
menemukan kedamaian di antara riuhnya dunia. 🌸

Rabu, 01 Oktober 2025

Tafsir Kesaktian Pancasila

Pendahuluan

Pancasila bukan hanya dasar negara. Ia adalah roh bangsa yang mengikat perbedaan, merajut persatuan, dan menuntun arah perjalanan Indonesia. Dalam sejarah, Pancasila telah berkali-kali diuji: pemberontakan, krisis politik, gempuran ideologi asing, hingga derasnya arus globalisasi. Namun, Pancasila tetap tegak.

Inilah yang kita sebut kesaktian Pancasila: bukan dalam arti gaib atau mistis, melainkan kekuatan moral dan spiritual yang membuat bangsa ini tidak mudah runtuh.


Mengapa Disebut “Sakti”?

-Kesaktian Pancasila lahir dari daya hidupnya yang selalu relevan.

-Ketuhanan menjaga agar bangsa ini tetap berakar pada nilai ilahi, meski berbeda agama.

-Kemanusiaan mengingatkan bahwa setiap orang berharga, tanpa memandang suku atau status.

-Persatuan mengikat ratusan etnis, bahasa, dan budaya menjadi satu rumah bernama Indonesia.

-Kerakyatan memberi ruang bagi demokrasi yang bersumber dari musyawarah, bukan pemaksaan.

-Keadilan Sosial menuntun agar kekayaan negeri ini dinikmati bersama, bukan segelintir orang.


Kesaktian Pancasila tampak nyata ketika bangsa ini mampu melewati masa-masa sulit. Dari perlawanan terhadap kolonialisme, tragedi perpecahan, hingga krisis ekonomi—Indonesia selalu bisa bangkit, karena Pancasila menjadi pegangan bersama.


Jejak Filosofi Jawa

Dalam falsafah Jawa, ada pepatah: “Memayu hayuning bawana”—membuat dunia lebih indah dan harmonis (Notonagoro, 1975). 

Pancasila adalah pengejawantahan ajaran ini. Ia sakti karena tidak memecah, melainkan merawat keseimbangan.

Ada pula pitutur:Sapa sing nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake—menang tanpa harus merendahkan lawan. Inilah wajah Persatuan Indonesia: sakti karena mampu mengalahkan ego tanpa kekerasan, melainkan dengan kebijaksanaan.


Kesaktian Pancasila bukan karena kekuatan senjata, tetapi karena kekuatan nilai-nilai yang tertanam dalam hati rakyat (Kaelan, 2013).


Refleksi Penulis

Kesaktian Pancasila bagi saya bukan sekadar sejarah 1 Oktober yang diperingati setiap tahun. Ia nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Saya melihat kesaktiannya saat tetangga yang berbeda agama saling membantu membangun rumah. Saya merasakan kesaktiannya ketika warga desa bergotong royong memperbaiki jalan. Saya mendengar napasnya di kelas, ketika anak-anak belajar bersama tanpa peduli asal-usul.

Pancasila sakti karena hidup di hati rakyat. Ia bukan semboyan kosong, melainkan nyala kecil yang menjaga bangsa ini tetap ada.

Pepatah Jawa berkata: “Urip iku urup”—hidup itu menyala. Pancasila sakti karena membuat hidup bangsa ini tetap menyala, meski diterpa angin kencang.


Puisi Jawa: Geni Kang Ora Padam

Ing tanah amba aran Nusantara,

lima pepadhang metu saka siji jiwa.

Menyala kaya obor ing petenging wengi,

njaga lakon, supaya ora kesasar dalan.


Ketuhanan, srengenge esuk kang madhangi,

anget tanpa milih sapa kang ngrasakake.


Kemanusiaan, koyok semilir angin seger,

ngelus pasuryan kang kesel lan lelah.


Persatuan, koyok segara jembar,

nglumpukake ombak, arus, lan karang dadi siji.


Kerakyatan, koyok wit beringin,

pangayoman kanggo kabeh, tanpa pilih rupa.


Keadilan, kaya lemah subur,

maringi woh tumrap saben sing nandur.


Iki kesaktiane Pancasila—

geni kang ora tau padam,

sanadjan udan deres, sanadjan angin ribut,

isih murup, krono dijogo karo atine anak bangsa.





---


Rujukan:

Bung Karno (1945), Lahirnya Pancasila (Pidato 1 Juni).

Notonagoro (1975), Pancasila secara Ilmiah Populer.

Kaelan (2013), Pendidikan Pancasila.

Magnis-Suseno (2016), Etika Politik.

Falsafah Jawa: Memayu hayuning bawana, Sapa sing nglurug tanpa bala, Urip iku urup.


Kamis, 25 September 2025

Manusia Itu Ibarat Tambang Emas dan Perak

Suatu ketika Rasulullah ﷺ bersabda:

Manusia itu laksana tambang, seperti tambang emas dan perak.”

(HR. Muslim)


Bayangkan sebuah tambang. Dari luar, yang tampak hanyalah tanah, batu, atau debu. Tidak ada yang istimewa. Tapi siapa sangka, di balik gundukan tanah itu tersimpan emas atau perak yang nilainya tak ternilai. Untuk mendapatkannya, orang harus menggali dalam-dalam, dengan sabar, penuh kerja keras.

Begitu pula manusia.

Kadang kita melihat seseorang hanya dari luarnya: penampilan, latar belakang, atau masa lalunya. Kita menilai cepat, bahkan meremehkan. Padahal, bisa jadi dalam dirinya tersimpan potensi luar biasa yang belum muncul ke permukaan.

---


Kisah Umar bin Khattab: Dari Keras Menjadi Tegas


Kita bisa belajar dari kisah Umar bin Khattab r.a. Sebelum masuk Islam, Umar dikenal keras, bahkan pernah berniat membunuh Nabi ﷺ. Kalau kita menilai Umar hanya dari sisi itu, mungkin kita akan berkata: “Tidak ada harapan untuknya.”

Namun ketika hidayah Allah menyapa hatinya, sifat keras itu berubah menjadi ketegasan yang menegakkan kebenaran. Potensi besar Umar yang dulu tersembunyi akhirnya tergali. Dari seorang yang ditakuti karena kebengisannya, Umar berubah menjadi pemimpin adil yang membuat setan pun gentar lewat jalannya.

Ini bukti bahwa setiap manusia memang seperti tambang. Ada yang masih tertutup tanah, ada yang sudah terlihat kilaunya, dan ada pula yang sedang digali.

---


Kita Semua Punya Emas


Hadits ini juga mengingatkan bahwa tidak semua manusia sama, tapi semua berharga. Ada yang bakatnya seperti emas: berkilau, mencolok, mudah terlihat. Ada pula yang seperti perak: mungkin lebih sederhana, tapi tetap bernilai.

Ada yang kuat dalam ilmu, ada yang menonjol dalam amal, ada yang sederhana namun penuh ketulusan. Setiap orang membawa warna dan perannya masing-masing dalam kehidupan.

---


Refleksi Kecil Penulis


Saat penulis merenungkan hadits ini, hati bergetar. Betapa sering kita menilai orang lain dari tampilan luarnya, lalu terburu-buru melabeli: “Dia tidak bisa apa-apa”, “Dia biasa saja”, atau bahkan “Dia tidak ada harapan.”

Padahal, siapa tahu Allah sedang menyimpan “emas” dalam dirinya, menunggu waktu untuk muncul.

Dan jujur, terkadang penulis juga merasa kecil. Ada rasa minder, seolah diri ini tidak punya apa-apa dibanding orang lain. Tapi hadits ini seperti bisikan lembut dari Nabi ﷺ: “Dalam dirimu ada tambang berharga. Gali, asah, dan gunakanlah untuk kebaikan.”


---


Menjadi Tambang yang Bermanfaat


Akhirnya, hadits ini bukan hanya ajakan untuk menghargai orang lain, tapi juga untuk tidak meremehkan diri sendiri. Kita semua punya potensi, hanya saja berbeda bentuk dan nilainya. Yang penting adalah bagaimana kita menggali, menjaga, dan mengarahkannya ke jalan yang benar.


Karena emas dan perak baru bernilai ketika ia dimanfaatkan, begitu pula potensi manusia: ia berharga ketika digunakan untuk memberi manfaat bagi orang lain.


Doa Penutup

Sebagai penutup renungan ini, marilah kita hadiahkan shalawat kepada junjungan kita, Nabi Muhammad ﷺ.

Salah satu shalawat yang telah di Ijazahkan oleh K.H AN'IM Falahuddin Mahrus dalam acara Studium General. Dalam hal ini, penulis akan berusaha mengamalkan apa yang telah di Ijazahkan oleh beliau. 


Lafaz Shalawat Fatih

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ، وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ، وَالنَّاصِرِ الْحَقَّ بِالْحَقِّ، وَالْهَادِي إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيمِ، وَعَلَى آلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيمِ.


Terjemahannya;

“Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad ﷺ, yang membuka apa yang terkunci, yang menutup apa yang telah lalu, yang membela kebenaran dengan kebenaran, dan yang menunjukkan kepada jalan-Mu yang lurus. Semoga rahmat itu juga tercurah kepada keluarga beliau, dengan hak kedudukan dan kemuliaan beliau yang agung.”

---



✨ Semoga dengan shalawat ini Allah membuka potensi terbaik dalam diri kita, mengarahkannya untuk kebaikan, dan menjadikannya cahaya yang bermanfaat bagi sesama.


Minggu, 21 September 2025

Nek Ora Sehat, Ora Bermanfaat

Sehat Itu Modal untuk Beribadah

Orang Jawa sering bilang: “Nek ora sehat, ora bermanfaat.” Artinya, kalau tubuh kita tidak sehat, maka sulit untuk berbuat kebaikan bagi orang lain. Sehat bukan cuma soal badan yang kuat, tapi juga hati yang tenang dan pikiran yang jernih.


Dalam Islam, menjaga kesehatan adalah bagian dari ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah." (HR. Muslim).


Sehat itu bukan sekadar bonus hidup, tapi modal utama untuk menjalankan amanah sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.


Allah juga mengingatkan:

"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan." (QS. Al-Baqarah: 195).


Ayat ini jadi dasar bahwa menjaga kesehatan adalah kewajiban agar kita tetap bisa beribadah dan memberi manfaat.


Ilmu, Agama, dan Kesehatan

Bayangkan kalau kita punya ilmu, punya semangat untuk berdakwah, tapi badan kita lemah karena lalai menjaga kesehatan. Dakwah bisa terhambat, ilmu tidak tersampaikan, bahkan ibadah pun jadi berat.

Itulah sebabnya ilmu, agama, dan kesehatan harus berjalan bersama. Ilmu memberi arah, agama memberi nilai, sementara kesehatan memberi energi untuk mewujudkannya.


Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat." (HR. Bukhari).


Dan Allah berfirman:

"Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS. An-Nahl: 125).

Sebagaimana nasihat yang di sampaikan oleh Kyai dari "kota Tahu" bahwa ;

 نشر العلم و الدين لإعلاء كلمات الله

Dari sini jelas bahwa menyebarkan ilmu dan agama, meski sedikit, adalah bagian dari meninggikan kalimat Allah.


Kisah Guru Ngaji

Ada seorang guru ngaji di kampung kecil. Beliau rajin mengajar anak-anak setiap sore di serambi rumahnya. Tapi suatu waktu, beliau jatuh sakit karena terlalu memaksakan diri, padahal usianya sudah lanjut. Akhirnya, pengajian terpaksa berhenti sementara.

Anak-anak merasa kehilangan, karena ilmu yang biasanya mereka dapatkan terhenti. Dari situ, kita bisa belajar: kesehatan guru itu bukan hanya urusan pribadi, tapi juga menentukan keberlangsungan ilmu dan manfaat bagi orang lain.


Cara Menjaga Sehat Supaya Bisa Bermanfaat


Menjaga kesehatan tidak harus rumit. Mulai dari hal-hal kecil:

Tidur cukup dan jangan begadang tanpa alasan penting.

Makan yang halal dan baik, tidak berlebihan.

Olahraga ringan secara rutin.

Jaga hati dan pikiran, karena stres juga bikin tubuh lemah.


Dengan tubuh yang sehat, kita bisa lebih semangat belajar, mengajar, bekerja, dan berdakwah.


Refleksi Penulis

Menulis tema ini membuat saya merenung. Saya sering sibuk mengejar ilmu, berkegiatan, atau menulis, tapi kadang lupa menjaga badan sendiri. Padahal, kalau saya sakit, tulisan terhenti, dakwah terhenti, dan manfaat pun ikut berhenti.

Saya jadi sadar, menjaga kesehatan itu bukan egois. Justru dengan menjaga diri, saya bisa terus berbagi. Semoga Allah memberi kita kekuatan agar sehat lahir batin, sehingga setiap langkah kita bisa bernilai manfaat.


Penutup

Nek ora sehat, ora bermanfaat. Ungkapan sederhana ini ternyata menyimpan makna besar. Sehat bukan tujuan akhir, tapi jalan agar kita bisa lebih banyak berbuat baik, menyebarkan ilmu, dan menegakkan kalimat Allah.


Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barang siapa menunjukkan jalan kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang mengerjakannya." (HR. Muslim).

Dan Allah menegaskan:

"Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat." (QS. Al-Mujadilah: 11).


Artinya, menyebarkan ilmu dan agama itu sama dengan membuka jalan hidayah bagi orang lain, sekaligus meninggikan kalimat Allah. Dan untuk bisa konsisten melakukannya, kita butuh tubuh yang sehat serta hati yang kuat.

Sabtu, 13 September 2025

Wohing Pakarti: Menanam Perbuatan, Menuai Kehidupan

Pengantar

Orang Jawa punya banyak pitutur luhur yang tidak lekang dimakan zaman. Salah satunya adalah falsafah wohing pakarti. Meski terdengar sederhana, ungkapan ini menyimpan nasihat mendalam: bahwa hidup kita sesungguhnya adalah hasil dari apa yang kita lakukan. Menariknya, falsafah ini sejalan dengan pesan-pesan Al-Qur’an yang juga menekankan pentingnya tanggung jawab manusia atas setiap amal perbuatannya.

Makna Wohing Pakarti

Secara harfiah, wohing berarti buah atau hasil, sementara pakarti berarti perbuatan atau perilaku. Jadi, wohing pakarti bisa dipahami sebagai “buah dari perbuatan.” Falsafah ini mengajarkan bahwa tidak ada tindakan manusia yang sia-sia. Apa pun yang kita lakukan akan kembali kepada kita, entah dalam bentuk kebaikan atau keburukan.

Orang Jawa dulu sering menasehatkan,sing becik ketitik, sing olo ketara — yang baik akan tampak, yang buruk akan terlihat. Ini sejalan dengan prinsip bahwa pada akhirnya, semua perilaku akan memperlihatkan hasilnya.


Dalam Cahaya Al-Qur’an

Al-Qur’an memberikan penguatan bahwa setiap amal manusia akan mendapat balasan yang setimpal.

Balasan sekecil apapun perbuatan:

“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az-Zalzalah [99]: 7-8)

Kebaikan kembali pada pelakunya:

“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri, dan barang siapa berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri. Dan Tuhanmu tidak pernah menzalimi hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushshilat [41]: 46)

Ayat-ayat ini seakan menjadi penjelasan langsung atas makna wohing pakarti. Apa yang kita tanam dalam hidup, itulah yang akan kita tuai.


Sebuah Kisah

Ada seorang pedagang kecil di pasar tradisional. Ia dikenal jujur, meski barang dagangannya sederhana. Kadang ia memberi sedikit tambahan untuk pembeli, sambil berkata, Mugi Barokah.” Orang-orang pun merasa nyaman dan percaya padanya.

Beberapa tahun kemudian, usahanya berkembang. Banyak orang merekomendasikan dagangannya, bukan karena iklan atau promosi, melainkan karena ketulusan dan kejujurannya. Inilah buah nyata dari wohing pakarti: kejujuran kecil yang ditanam setiap hari berbuah menjadi keberkahan yang besar.

Sebaliknya, kita juga sering melihat contoh sebaliknya—orang yang terbiasa curang atau menipu. Mungkin awalnya tampak untung, tetapi lambat laun akan kehilangan kepercayaan, bahkan merusak hidupnya sendiri.


Filosofi Hidup

Falsafah wohing pakarti mengandung pesan filosofis yang relevan sepanjang zaman:

1. Hidup adalah tanggung jawab pribadi. Tidak ada yang bisa lari dari akibat perbuatannya sendiri.

2. Perilaku kecil pun punya dampak. Senyum tulus, kata-kata baik, atau sebaliknya—ucapan kasar—semua akan kembali kepada kita.

3. Keadilan Tuhan bersifat sempurna. Allah tidak pernah menzalimi, manusia sendirilah yang menentukan jalannya dengan amalnya.

Dengan menyadari hal ini, kita diajak untuk hidup lebih waspada, bijak, dan penuh pertimbangan.


Relevansi untuk Masa Kini

Di era modern yang serba cepat, banyak orang ingin hasil instan. Padahal falsafah wohing pakarti mengingatkan: proses dan perilaku menentukan hasil.

Kejujuran di tempat kerja akan berbuah kepercayaan.

Kedisiplinan dalam belajar akan menghasilkan prestasi.

Sebaliknya, kelalaian akan berbuah penyesalan.

Jika setiap orang sadar bahwa semua tindakannya akan kembali pada dirinya, tentu ia akan lebih berhati-hati dalam bersikap, lebih menghargai orang lain, dan lebih menjaga harmoni bersama.


Refleksi Penulis

Saat menuliskan artikel ini, saya teringat pada diri sendiri: seringkali kita menginginkan hasil besar tanpa sadar bahwa yang paling menentukan justru hal-hal kecil yang kita lakukan setiap hari. Ucapan yang santun, sikap yang tulus, atau kebiasaan disiplin—itulah benih-benih yang kelak menjadi “buah kehidupan.”

Saya pun merenung, jangan-jangan banyak masalah dalam hidup ini adalah wohing pakarti dari kesalahan atau kelalaian kita di masa lalu. Sebaliknya, kebaikan yang datang kepada kita juga mungkin adalah buah dari amal-amal kecil yang pernah kita tanam.

Falsafah Jawa dan pesan Al-Qur’an sama-sama mengingatkan: kita tidak bisa mengelak dari tanggung jawab. Maka yang bisa kita lakukan hanyalah terus menanam kebaikan, sambil berharap Allah menumbuhkan dan memberkahi buahnya.


Penutup

Wohing pakarti bukan sekadar pepatah Jawa kuno, melainkan kearifan yang hidup dan terus relevan. Ia mengajarkan bahwa kita adalah penanam sekaligus pemetik dari kebun kehidupan kita sendiri. Al-Qur’an pun menegaskan hal yang sama: tidak ada amal yang hilang, semua akan kembali kepada pelakunya.

Dengan menghayati falsafah ini, kita bisa menjalani hidup dengan lebih sadar, bijak, dan selaras dengan kehendak Ilahi. Karena pada akhirnya, hidup adalah tentang apa yang kita tanam—dan apa yang kita tuai.


---


Kutipan Tembang Jawa

Ngelmu iku kalakone kanthi laku,

lekase lawan kas, tegese kas nyantosani,

setya budya pangekese dur angkara.”

(Serat Wedhatama, Pupuh Pangkur)

Terjemahan bebas (bahasa Indonesia):

Ilmu itu dapat terlaksana dengan perbuatan,

dimulai dengan tekad kuat yang menguatkan hati,

dan kesungguhan budi yang mampu menundukkan sifat angkara.

Kutipan ini sejalan dengan falsafah wohing pakarti: ilmu, niat, dan kebaikan baru berbuah jika diwujudkan dalam tindakan nyata.


Jumat, 12 September 2025

Tafsir Demo: Antara Suara Rakyat, Ayat, dan Renungan Diri

Demo atau demonstrasi sering dipahami hanya sebagai kerumunan massa yang memenuhi jalanan, mengangkat poster, dan berteriak lantang. Namun, jika direnungkan lebih dalam, demo adalah sebuah teks sosial yang sarat makna. Ia adalah bahasa rakyat ketika saluran formal tak lagi mampu menampung aspirasi. Ia juga merupakan cermin relasi antara rakyat dan penguasa, bahkan—jika kita mau jujur—cermin diri kita sendiri.


Demo sebagai Suara Kebenaran

Al-Qur’an menegaskan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar:


> “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)


Dalam konteks sosial-politik hari ini, demo bisa dibaca sebagai bentuk nyata dari ayat ini. Ia adalah panggilan kolektif rakyat untuk mengingatkan penguasa, menolak kezaliman, atau menuntut keadilan. Setiap spanduk, orasi, bahkan lokasi yang dipilih, adalah simbol yang berbicara lebih keras daripada kata-kata di meja birokrasi.


Namun, demo juga bukan tanpa risiko. Di sinilah kita diingatkan:


> “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya...” (QS. Al-A’raf: 56)


Demo yang damai adalah bagian dari upaya menegakkan kebenaran, tetapi ketika berubah menjadi anarki, maknanya bisa terdistorsi.


Demo di Era Digital

Seiring perkembangan teknologi, demo kini tidak hanya berlangsung di jalan raya, melainkan juga di ruang virtual. Gerakan #ReformasiDikorupsi, Black Lives Matter, hingga aksi-aksi iklim global menunjukkan bagaimana media sosial menjadi ruang mobilisasi.


Namun, di balik itu, lahir juga fenomena “aktivisme instan”: sekadar membagikan unggahan tanpa benar-benar terlibat dalam perjuangan nyata. Di sinilah relevan firman Allah:


> “Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Saff: 2-3)


Ayat ini menegur saya secara pribadi: sudahkah saya benar-benar terlibat, atau hanya menjadi pengamat pasif?


Demo, Krisis Kepercayaan, dan Politik

Di Indonesia, demo biasanya muncul saat ada krisis kepercayaan terhadap negara: pengesahan undang-undang kontroversial, ketidakadilan hukum, atau beban ekonomi rakyat. Demo adalah alarm sosial—tanda bahwa komunikasi antara rakyat dan pemerintah sedang tidak sehat.


Namun, kita juga tahu, demo sering dibajak kepentingan politik. Isu yang lahir dari kegelisahan rakyat kadang dipolitisasi, sehingga substansi aspirasi tereduksi. Dalam hal ini, ayat Allah mengingatkan:


> “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...” (QS. Al-Maidah: 8)


Keadilan adalah inti dari demo sejati. Tanpa itu, ia hanya menjadi keramaian kosong atau alat provokasi.


Menafsirkan Demo, Menafsirkan Diri

Setiap kali saya melihat demo, ada rasa campur aduk dalam diri saya: kagum, cemas, sekaligus tertantang. Kagum karena ada keberanian rakyat untuk bersuara. Cemas karena potensi kerusuhan yang bisa muncul. Dan tertantang karena saya merasa ikut ditanya: sudahkah saya berlaku adil dalam kehidupan kecil saya sendiri?


Firman Allah seolah menatap langsung ke dalam hati saya:


> “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri...” (QS. An-Nisa: 135)


Ayat ini membuat saya sadar: bagaimana mungkin saya menuntut negara berlaku adil, jika saya sendiri sering lalai berlaku adil di lingkaran kecil saya—dalam keluarga, pekerjaan, atau pertemanan?


Penutup: Tafsir Demo sebagai Tafsir Kehidupan


Menafsirkan demo lewat Al-Qur’an dan analisis sosial terkini mengajarkan saya satu hal: demo bukan hanya peristiwa politik, melainkan juga refleksi spiritual. Ia adalah amar ma’ruf nahi munkar dalam skala sosial, sekaligus ujian kesabaran dan kedewasaan demokrasi.


Namun yang lebih penting, demo juga bisa kita baca sebagaidemo batin”—protes diri terhadap kebiasaan buruk, ketidakadilan kecil, atau kelemahan pribadi yang sering kita biarkan. Sebab sebelum kita menuntut negara menegakkan keadilan, kita harus berani menegakkannya dalam diri kita sendiri.


Maka, tafsir demo bagi saya bukan hanya tentang rakyat melawan penguasa, tetapi juga tentang manusia melawan dirinya: melawan kemalasan, ketidakjujuran, dan ketidakadilan yang bersemayam di hati. Itulah demo yang sesungguhnya, demo yang paling sunyi sekaligus paling berat.

Minggu, 07 September 2025

Tafsir Gerhana Bulan: Komparasi Filosofi Jawa dan Islam

Setiap kali gerhana bulan datang, langit seperti menyuguhkan drama yang membuat manusia terdiam. Bulan yang biasanya terang, perlahan tertutup bayangan bumi, tenggelam dalam gelap, lalu muncul kembali. Fenomena ini memang bisa dijelaskan dengan sains, tapi sejak dulu, manusia lebih suka membacanya dengan rasa—menjadikannya tanda, pertanda, bahkan peringatan. Begitu pula dalam tradisi Jawa dan Islam, gerhana dipahami dengan cara berbeda, namun keduanya sama-sama menawarkan ruang untuk merenung.


Dalam kosmologi Jawa, gerhana adalah peristiwa kala menelan bulan. Serat Kandha menuturkan:Kala anglangkung rembulan, dumadine pepeteng ing jagad — kala melintasi bulan, terjadilah kegelapan di dunia. Mitos ini menyiratkan pesan filosofis: manusia pun mengalami gerhana batin, ketika cahaya sejati tertutup oleh amarah dan nafsu. Karena itu, leluhur Jawa menempuh laku prihatin saat gerhana: semedi, tapa bisu, atau mengurangi kesenangan. Bagi mereka, mengheningkan diri adalah cara untuk menjaga harmoni jagad cilik (manusia) dengan jagad gede (alam semesta).


Islam memandang gerhana dengan terang lain. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Maka jika kalian melihatnya, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Di sini, gerhana tidak dikaitkan dengan mitos atau makhluk kosmis, melainkan dengan kesadaran tauhid: tanda kebesaran Allah yang mengingatkan manusia akan kefanaannya.


Bayangkan seorang pemuda di Yogyakarta duduk di teras rumah pada malam gerhana. Dari kejauhan, terdengar gamelan halus dari rumah tetangga yang masih menjaga tradisi Jawa, sementara dari masjid kampung, pengeras suara mengajak shalat khusuf. Ia menatap langit, teringat dua kisah: dari neneknya bahwa kala menelan bulan, dan dari gurunya bahwa gerhana adalah tanda kebesaran Allah. Dua tafsir itu bertemu di hatinya. Malam gerhana yang hening menjadi ruang kontemplasi: menjaga keseimbangan diri sekaligus mengingat Sang Pencipta.


Hari ini, sains memberi kita penjelasan yang jelas: gerhana bulan terjadi karena bumi menghalangi cahaya matahari menuju bulan. Namun pengetahuan itu tidak harus menghapus makna. Justru, ia memperkaya tafsir. Seperti orang Jawa dulu bersemedi, atau umat Islam shalat khusuf, kita pun bisa menjadikan gerhana sebagai jeda dari hiruk-pikuk modernitas: menutup gawai, melupakan rutinitas, dan memberi ruang bagi hati untuk hening.


Gerhana bulan, dengan caranya yang singkat dan sederhana, selalu memberi pelajaran: bahwa terang dan gelap datang silih berganti. Dari Jawa kita belajar menjaga harmoni jagad, dari Islam kita belajar mengingat Allah dan akhirat. Dua jalan berbeda, tetapi keduanya sama-sama menuntun manusia untuk menjadi bijak di bawah langit yang terus berubah.


Jumat, 05 September 2025

TAFSIR MAULID

 Maulid Itu Ya “Cangkeman”


Orang Jawa sering bilang:Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana.” Artinya, martabat seseorang bisa terlihat dari lisannya, dan penampilan fisiknya dari pakaiannya. Di titik ini, ada persinggungan indah antara falsafah Jawa dan keteladanan Nabi Muhammad SAW—sosok yang lisannya penuh kebaikan, lembut, dan jujur.

Kalau kita bicara soal Maulid Nabi, salah satu cara paling sederhana untuk meneladani beliau adalah menjaga ucapan kita. Atau dalam istilah Jawa: ngajeni cangkeman.


---


Cangkeman dan Teladan Nabi


Rasulullah SAW pernah bersabda:

> “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”

(HR. Bukhari & Muslim)


Hadis ini sejalan dengan nasihat leluhur Jawa: cangkeman iku bisa nggawa slamet utawa cilaka. Mulut bisa jadi pintu surga, tapi juga bisa menyeret ke neraka. Nabi sendiri menunjukkan bahwa kata-kata beliau selalu menghadirkan rahmat, bukan sakit hati.


---


Cangkeman di Zaman Digital

Di era medsos, cangkeman nggak lagi terbatas pada ucapan. Jempol kita di layar HP juga bagian dari lisan kita hari ini. Bedanya, sekali kita menulis atau membagikan sesuatu, dampaknya bisa lebih luas daripada sekadar bicara di warung kopi.


Makanya, Maulid Nabi di zaman now bisa kita maknai begini:

-Jangan gampang nyebar hoaks (QS. Al-Hujurat: 6 mengingatkan agar kita tabayun sebelum menyampaikan berita).

-Jangan saling mencela di kolom komentar (QS. Al-Hujurat: 11 melarang kita mengolok-olok orang lain).

-Gunakan medsos untuk berbagi motivasi, doa, dan kebaikan (seperti perintah Nabi: sampaikan dariku walau satu ayat – HR. Bukhari).

Dengan begitu, cangkeman kita jadi berkah dan bukan jadi sumber masalah.


---


Nguri-uri Budaya, Niru Nabi

Dalam budaya Jawa, tepa selira (tenggang rasa) adalah nilai luhur. Artinya, sebelum berbicara kita diajak mikir: apa kata-kata ini bakal bikin orang lain seneng, atau malah nyakitin?

Nilai ini sejalan banget dengan akhlak Nabi Muhammad yang penuh kasih sayang.

Bayangkan kalau Maulid kita isi bukan hanya dengan shalawatan, tapi juga tekad untuk menata cangkeman—baik di dunia nyata maupun dunia maya.


---


Refleksi Penulis


Sebagai penulis artikel ini, saya juga sadar betul bahwa saya hanyalah manusia biasa. Lisan saya pun masih sering khilaf, ucapan saya kadang belum sepenuhnya mencerminkan teladan Nabi. Saya menulis ini bukan karena sudah sempurna, tapi justru karena saya masih belajar. Menulis adalah cara saya untuk menasihati diri sendiri terlebih dahulu, lalu berbagi kepada siapa pun yang membaca.

Semoga Allah memberi kekuatan kepada kita semua untuk terus memperbaiki diri, menjaga ucapan, dan meneladani Nabi Muhammad SAW—sedikit demi sedikit, dari hal paling sederhana.



Penutup


Maulid Nabi mengingatkan kita bahwa keteladanan Rasulullah itu sederhana tapi dalam. Dan salah satu pintu terdekatnya ada di mulut kita. Maka, maulid itu ya cangkeman: bagaimana kita jaga lisan agar penuh kebaikan, agar selaras dengan teladan Nabi, dan agar hidup kita jadi rahmat bagi sekitar.

Karena pada akhirnya, seperti pepatah Jawa:

“Ajining diri saka lathi.”

Harga diri kita terletak pada kata-kata yang keluar dari mulut—dan dari jempol di layar.



---


📚 Referens:


Al-Qur’an Surat Al-Hujurat: 6 & 11

HR. Bukhari & Muslim tentang “berkata baik atau diam”

HR. Bukhari tentang “sampaikan dariku walau satu ayat”

Pepatah Jawa: Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana

Minggu, 31 Agustus 2025

Museum Hanyalah Peninggalan Sejarah, Bukan untuk Dijarah

Museum adalah tempat menyimpan jejak perjalanan peradaban manusia. Di dalamnya tersimpan benda-benda bersejarah, naskah, hingga artefak yang menjadi saksi kehidupan masa lampau. Semua itu bukan sekadar koleksi benda mati, melainkan warisan budaya yang harus dijaga. Sayangnya, kesadaran ini sering terabaikan.


Belum lama ini, publik dikejutkan oleh peristiwa di sebuah kota yang terletak di Jawa bagian Timur. Dalam aksi demonstrasi yang awalnya ditujukan untuk menyuarakan aspirasi, amarah massa justru merembet pada perusakan fasilitas umum, termasuk sebuah museum. Gedung yang seharusnya menjadi ruang pembelajaran sejarah justru menjadi korban dari luapan emosi yang tidak terkendali. Kaca pecah, fasilitas rusak, dan suasana mencekam menorehkan luka, bukan hanya secara fisik pada bangunan, tetapi juga secara moral bagi masyarakat yang menghargai sejarah.


Warisan untuk Generasi, Bukan Pelampiasan Emosi


Museum bukanlah milik pribadi, melainkan milik seluruh masyarakat dan generasi mendatang. Ketika museum dirusak atau dijarah dalam aksi massa, yang hilang bukan sekadar barang atau bangunan, tetapi juga warisan pengetahuan yang tidak bisa diganti. Generasi selanjutnya akan kehilangan kesempatan untuk belajar langsung dari bukti sejarah yang otentik.


Nilai yang Tak Tergantikan


Artefak, naskah, atau benda tradisional yang tersimpan di museum bukanlah barang dagangan. Nilainya tidak diukur dengan uang, melainkan dengan makna historis yang tak tergantikan. Perusakan museum dalam peristiwa di Kediri menjadi pengingat pahit bahwa kemarahan sekejap dapat menghancurkan sesuatu yang dibangun dan dirawat selama puluhan bahkan ratusan tahun.


Peran Kesadaran Kolektif


Peristiwa di Kediri harus menjadi pelajaran bersama. Demonstrasi adalah hak demokratis, tetapi tidak boleh merugikan kepentingan publik yang lebih luas. Apalagi jika yang menjadi korban adalah ruang-ruang pendidikan sejarah. Menjaga museum bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama seluruh lapisan masyarakat.


Sebagaimana pesan bijak Presiden Soekarno: "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya." Museum adalah salah satu cara kita menghargai jasa mereka. Merusaknya sama saja dengan melupakan sejarah, dan melupakan sejarah berarti melemahkan fondasi bangsa itu sendiri.


Soekarno juga pernah mengingatkan dengan tegas: "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!" (Jasmerah). Pesan itu relevan hingga kini, bahwa bangsa yang meremehkan sejarah akan kehilangan arah dan identitasnya. Museum hadir sebagai pengingat, agar kita tidak melupakan akar perjuangan dan perjalanan bangsa.


Penutup


Museum bukanlah gudang harta, apalagi tempat pelampiasan amarah. Ia adalah rumah pengetahuan, ruang penghormatan terhadap sejarah, dan jembatan bagi generasi. Perusakan museum dalam demo di Kediri membuktikan betapa rapuhnya kesadaran kita akan pentingnya warisan sejarah. Semoga kejadian itu menjadi peringatan keras agar kita lebih bijak: menyuarakan aspirasi boleh, tetapi jangan sampai mengorbankan sejarah.




Sabtu, 30 Agustus 2025

Istana Pancasila: Simbolisme tanpa Jiwa

Kamis, 28 Agustus 2025

Setinggi Apapun Kita Terbang, Tempat Sujud Kita Tetaplah di Tanah

Kita sering bercita-cita setinggi langit, berlari mengejar dunia, mendaki tangga kejayaan, hingga merasa telah berada di puncak.

Namun ada satu hakikat yang tak bisa kita lupakan:

Setinggi apapun kita terbang, tempat sujud kita tetaplah di tanah.


Di tanah inilah kita berasal, di tanah pula kita hidup, dan kepada tanah kita akan kembali.

---

Sujud: Saat Puncak Ketinggian Menjadi Kerendahan


Allah berfirman:

> “Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi serta para malaikat, sedang mereka tidak menyombongkan diri.”

(QS. An-Nahl [16]: 49)


Ketika kening menyentuh bumi, saat itulah manusia menemukan dirinya.

Bahwa seberapa tinggi pun pangkatnya, seberapa megah pun tahtanya, ia hanyalah hamba.

Sujud adalah bahasa kerendahan, sekaligus jalan menuju ketinggian hakiki.

---

Sulaiman: Kekuasaan yang Dibingkai Sujud

Nabi Sulaiman `alaihissalam—raja sekaligus nabi—diberi kerajaan yang tak tertandingi.

Jin, manusia, burung, bahkan angin pun tunduk pada perintahnya.

Namun, setiap kali nikmat besar datang, ia tidak membanggakan diri.

Ia berkata dengan penuh kesadaran:

> “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya).”

(QS. An-Naml [27]: 40)

Dan dalam doa penuh kerendahan ia memohon:

> “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.”

(QS. Shad [38]: 35)


Perhatikanlah…

Sulaiman yang agung tidak lebih dulu meminta kekuasaan, melainkan ampunan.

Karena ia tahu, sebesar apa pun kerajaan, yang lebih ia butuhkan hanyalah ridha Allah.

---


Qarun: Ketika Kekayaan Menenggelamkan

Berbeda dengan Sulaiman, Qarun yang kaya raya justru pongah.

Ia berkata dengan sombong:

> “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.”

(QS. Al-Qashash [28]: 78)


Maka bumi pun menelannya bersama semua kebanggaannya.

Ia yang merasa tinggi, justru dikembalikan ke tanah dalam kehinaan.


---


Pelajaran Kehidupan


Dari Sulaiman dan Qarun kita belajar:

Sulaiman terbang tinggi, namun tetap bersujud di tanah. Maka Allah muliakan namanya sepanjang zaman.

Qarun merasa tinggi, namun enggan bersujud. Maka Allah jatuhkan ia ke dalam bumi.



Rabu, 27 Agustus 2025

Akademik adalah Jalan yang Unik

Kalau kita ngomongin soal akademik, banyak orang langsung kepikiran tugas numpuk, skripsi yang nggak kelar-kelar, atau dosen killer yang bikin pusing. Padahal sebenarnya, dunia akademik itu nggak melulu tentang nilai atau gelar. Ia punya jalannya sendiri yang unik, dan nggak semua orang bisa merasakannya dengan cara yang sama.


1. Lebih dari Sekadar Nilai


Di bangku kuliah, kadang kita sibuk ngejar IPK. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, akademik itu lebih luas dari angka-angka di transkrip. Prosesnya justru yang bikin kita berkembang—mulai dari belajar mikir kritis, terbiasa nyari referensi, sampai berani mempertanyakan sesuatu sebelum langsung percaya.


> “Nilai bisa saja hilang, tapi cara berpikir akan terus melekat.”


2. Cara Pandang yang Berbeda


Hal menarik dari akademik adalah bagaimana ia ngajarin kita buat lihat dunia dari kacamata yang lebih luas. Kita jadi terbiasa mikir logis, nyambungin teori dengan kenyataan, bahkan kadang bisa jadi "detektif kecil" pas lagi analisis masalah. Unik kan?


> “Belajar bukan sekadar menghafal, tapi melatih cara kita memahami hidup.”


3. Perjalanan Tiap Orang Nggak Sama


Ada teman yang kuliah 4 tahun langsung lulus, ada juga yang harus muter-muter dulu, pindah jurusan, atau nyambi kerja biar bisa lanjut kuliah. Semua orang punya jalannya sendiri, dan itulah yang bikin perjalanan akademik jadi penuh cerita.


> “Nggak masalah kalau jalannya lebih lama, yang penting tetap melangkah.


4. Nggak Cuma di Kampus


Jangan salah, akademik nggak berhenti di kelas atau laboratorium. Banyak ilmu yang kita dapat bisa kepake buat bantu masyarakat. Misalnya, penelitian kecil bisa jadi solusi buat masalah lingkungan, atau ide-ide baru bisa jadi inspirasi kebijakan. Jadi, akademik itu nggak cuma soal teori, tapi juga soal kontribusi nyata.


> “Ilmu itu baru bernilai kalau bisa bermanfaat untuk orang lain.”


5. Cerita yang Selalu Diingat


Siapa sih yang bisa lupa pengalaman akademik? Dari begadang bareng ngerjain tugas, presentasi deg-degan di depan kelas, sampai senyum lega pas akhirnya dinyatakan lulus. Semua momen itu jadi bagian dari perjalanan hidup yang unik banget.


> “Di balik lelahnya akademik, selalu ada cerita yang bakal kita kenang.”


---


Penutup


Singkatnya, akademik itu jalan yang unik karena setiap orang punya ceritanya masing-masing. Ada yang penuh drama, ada yang penuh prestasi, ada juga yang campur aduk antara keduanya. Tapi apapun bentuknya, akademik selalu punya cara sendiri buat bikin kita tumbuh, belajar, dan lebih siap menghadapi dunia.


> “Akademik bukan akhir dari perjalanan, tapi batu loncatan untuk langkah yang lebih besar.”

Minggu, 24 Agustus 2025

Jalan Santai, Santai Jualan

Pagi itu, tepat pukul 06.00 wib, udara terasa segar. Matahari baru saja muncul, belum terlalu terik, dan jalan utama sudah dipenuhi orang-orang yang bersiap mengikuti jalan santai. Dari kejauhan terdengar musik riang, suara panitia memberi aba-aba, dan gelak tawa peserta yang saling menyapa.

Semua tampak bersemangat. Ada anak kecil yang menggandeng tangan ibunya, remaja yang sibuk berfoto, sampai kakek-nenek yang tetap ikut melangkah dengan tenang. Jalan santai memang sederhana, tapi selalu membawa suasana meriah.

---

Langkah Kecil, Suasana Besar

Ketika ratusan kaki mulai melangkah bersama, terasa ada energi kebersamaan yang sulit digambarkan. Tidak ada yang terburu-buru, semua berjalan dengan ritme masing-masing. Ada yang serius ingin olahraga, ada yang hanya ikut demi seru-seruan. Tapi satu hal jelas: wajah-wajah ceria mendominasi sepanjang rute.

Di sisi jalan, deretan pedagang sudah siap menyambut. Ada yang menawarkan air mineral dingin, ada yang menjajakan gorengan hangat, ada pula yang menjual aksesoris kecil dengan warna-warni mencolok.

Menariknya, mereka tidak berjualan dengan gaya agresif. Tidak ada teriakan keras atau rebutan pelanggan. Semuanya dilakukan dengan santai. Justru itulah yang membuat suasana terasa hangat: pedagang tersenyum, pembeli pun datang dengan senang hati.

---

Lebih dari Sekadar Jual-Beli

Seorang bapak paruh baya berhenti di depan gerobak es teh. “Pak, satu gelas dingin ya. Wah, segarnya bisa ngalahin hadiahnya nih!” ujarnya sambil tertawa. Penjualnya pun ikut terkekeh. Pembeli dapat minuman, penjual dapat rezeki, keduanya dapat tawa.

Di tempat lain, seorang anak kecil memaksa ayahnya membeli jajan sarapan pagi dan segelas es coklat. Si penjual dengan sabar memberikan hidangan itu ke tangan si kecil, lalu berkata, “Semoga lapar dan Hausmu menjadi Kenyang dan segar ya nak! " Anak itu pun berjalan riang, seolah membawa semangat baru.

Momen-momen sederhana seperti ini memperlihatkan bahwa jalan santai bukan sekadar acara olahraga, melainkan ruang sosial tempat interaksi kecil yang penuh makna terjadi.

---

Filosofi dari “Santai Jualan”

Kalau diperhatikan, ada pelajaran menarik dari para pedagang di acara ini. Mereka berjualan dengan santai, tidak tergesa-gesa, tidak memaksa. Namun justru dengan cara itu, dagangan mereka tetap laris.

Seakan mengajarkan bahwa dalam hidup, kita tidak harus selalu berlari cepat. Kadang, dengan langkah santai tapi konsisten, kita tetap bisa sampai pada tujuan. Sama halnya dengan jalan santai: pelan, ringan, tapi bermanfaat besar bagi tubuh dan jiwa.

---

Kebersamaan yang Menyembuhkan

Di balik semua itu, jalan santai juga menjadi sarana mempererat hubungan sosial. Kita bertemu teman lama yang tak disangka hadir, menyapa tetangga yang mungkin jarang berinteraksi, atau sekadar tersenyum pada orang asing yang berjalan di samping kita.

Kebersamaan inilah yang seringkali lebih berharga daripada hadiah doorprize. Karena setelah acara selesai, yang tersisa bukan hanya tubuh yang lebih segar, tapi juga hati yang lebih hangat.

---


Penutup: Langkah, Rezeki, dan Cerita


Jalan santai, santai jualan” bukan sekadar judul acara. Ia menggambarkan sebuah filosofi: bahwa dalam kesederhanaan, selalu ada kebahagiaan. Langkah-langkah kecil di jalan santai menyehatkan tubuh, sementara jualan santai di sepanjang rute menghidupkan suasana dan membuka rezeki.

Dua hal sederhana, tapi ketika berpadu, menghasilkan cerita indah yang akan dikenang peserta maupun pedagang.

Jadi, jika suatu hari ada acara jalan santai di sekitarmu, ikutlah. Rasakan sendiri bagaimana langkah ringan bisa membawa energi positif, bagaimana pedagang santai bisa mengajarkan arti kesabaran, dan bagaimana kebersamaan bisa jadi hadiah paling berharga.

Karena hidup, pada akhirnya, memang sering terasa lebih indah ketika dijalani dengan santai. 🌿



Jumat, 22 Agustus 2025

Tafsir Tahun Dal

Apa itu Tahun Dal?

Dalam perhitungan kalender Jawa, Tahun Dal muncul tiap 8 tahun sekali.
Dal dianggap sebagai tahun perubahan: pemerintahan bisa bergeser, rakyat diuji, dan alam memberi pertanda.
Bukan tahun sial, tapi tahun “pendidikan batin”—untuk mengingatkan manusia agar rendah hati, waspada, dan tidak berlebihan.

---

Kapan Tahun Dal Terjadi?

Dimulai: 27/28 Juni 2025 (1 Sura 1959 Jawa).

Berakhir: 30 Juni 2026 (sebelum 1 Sura 1960 Jawa).
➡ Jadi, Agustus 2025 sampai Juni 2026 masih dalam Tahun Dal.

---

Apa yang Biasanya Terjadi di Tahun Dal?

1. Perubahan pemerintahan: pergeseran kursi, kebijakan berbalik, atau pembersihan aturan.

2. Rakyat diuji: bisa dengan ekonomi sulit, harga naik, atau kerja berat; tapi justru memunculkan kekuatan baru—lebih hemat, rukun, dan gotong royong.

3. Tanda alam: cuaca tak menentu, bencana, atau perubahan iklim sebagai tanda bumi sedang membersihkan diri.

4. Ujian batin: orang sombong diperingatkan, orang sabar diberi bukti, orang keras hati diuji agar sadar.

---

Hal yang Perlu Dijaga (Pantangan Dal)

-Jangan sombong atau pamer kekuasaan.
-Jangan boros—hindari pesta besar yang tak perlu, lebih baik sedekah.
-Jangan ceroboh mengambil urusan besar tanpa hitung matang (misalnya bangun rumah besar di bulan Sura).
-Jangan abai pada tanda alam.
-Perbanyak tirakat: doa, puasa, semedi, amal baik.

---

Laku (Tirakat) Baik di Tahun Dal 

Slametan sederhana: bubur merah-putih, doa, air bening.

Minta maaf pada orang tua, keluarga, tetangga. 

Sedekah & peduli lingkungan: bantu sesama, tanam pohon, rawat sumber air.

Puasa & semedi: sebulan sekali, atau puasa digital (kurangi gadget).

Bulan Sura: isi dengan belajar sejarah keluarga, membaca pitutur, bukan pesta.

Kamis, 21 Agustus 2025

Samudera Ilmu dalam Kitab Tafsir

Di antara lautan kitab tafsir yang lahir sepanjang sejarah Islam, Tafsir al-Razi atau yang dikenal dengan nama lengkap Mafātīḥ al-Ghayb (“Kunci-kunci Alam Gaib”), menempati posisi yang sangat istimewa. Kitab ini bukan hanya sekadar tafsir Al-Qur’an, melainkan juga ensiklopedia pengetahuan yang mencakup filsafat, ilmu kalam, logika, bahkan sains pada masanya.

Siapa Fakhruddin al-Razi?

Penulis tafsir ini adalah Fakhruddin al-Razi (wafat 606 H/1209 M), seorang ulama besar yang dikenal sebagai teolog, filsuf, dan cendekiawan serba bisa. Ia hidup di era keemasan peradaban Islam, saat diskusi filsafat Yunani, logika Aristoteles, dan pemikiran kalam berkembang pesat di dunia Islam. Tidak heran jika corak pemikirannya begitu kaya dan kompleks.

Ciri Khas Tafsir al-Razi

1. Bukan Sekadar Tafsir Tekstual
Al-Razi tidak hanya menjelaskan makna ayat dari sisi bahasa dan riwayat. Ia sering masuk ke diskusi filosofis, perdebatan kalam, bahkan teori-teori ilmiah. Kadang satu ayat bisa memicu pembahasan panjang tentang kosmologi, psikologi, hingga kedokteran.

2. Dialog dengan Ilmu Pengetahuan
Kitab ini menjadi saksi bagaimana Al-Qur’an dibaca secara dialogis dengan ilmu pengetahuan pada zamannya. Misalnya, ketika membahas ayat tentang langit dan bumi, al-Razi mengaitkannya dengan teori kosmos yang berkembang saat itu.

3. Pendekatan Kalam
Karena latar belakangnya sebagai ulama Asy‘ari, al-Razi banyak membahas persoalan akidah dan perdebatan teologis. Ia mengkritik pandangan Mu‘tazilah, filsuf, maupun kelompok lain, sambil membela posisi Ahlus Sunnah.

4. Gaya Argumentatif
Salah satu ciri khasnya adalah gaya penulisan yang sangat argumentatif. Ia selalu menyajikan berbagai pendapat, lalu menganalisis satu per satu sebelum mengambil kesimpulan. Membaca tafsirnya seperti menyaksikan debat intelektual yang hidup.

Kekuatan dan Kritik

Tafsir al-Razi dipuji karena kedalaman ilmunya dan keluasan cakupannya. Banyak yang menyebutnya sebagai “ensiklopedia keilmuan Islam” ketimbang sekadar tafsir. Namun, sebagian ulama juga mengkritik bahwa pembahasannya sering terlalu panjang, berputar-putar, dan kadang jauh dari inti ayat.

Mengapa Penting Dibaca?

Tafsir al-Razi menunjukkan bahwa Al-Qur’an bisa dibaca dengan berbagai lensa: teologis, filosofis, bahkan saintifik. Ia mengajarkan bahwa iman dan akal tidak perlu dipertentangkan, melainkan bisa saling memperkaya.

Kitab ini memang tidak mudah dipahami, apalagi bagi pembaca awam. Namun, bagi yang ingin menyelami bagaimana ulama klasik berdialog dengan ilmu dan zaman mereka, Mafātīḥ al-Ghayb adalah jendela yang menakjubkan.

Selasa, 19 Agustus 2025

Puisi: "Tafsir Pancasila"

Di bumi Nusantara aku berdiri,
dengan akar sejarah yang takkan terganti.
Pancasila jadi pelita,
menerangi langkah bangsa merdeka.

Ketuhanan yang agung jadi sandaran,
kemanusiaan mengikat persaudaraan.
Persatuan tegak di tengah samudra perbedaan,
demokrasi tumbuh dari musyawarah insan.

Keadilan mengalir ke seluruh penjuru,
membasuh dahaga rakyat yang rindu.
Inilah tafsir sejati,
bahwa Pancasila hidup di hati.

Di bawah bintang kejora aku bertanya,
apa yang membuat bangsa ini tetap bersama?
Ribuan pulau, berjuta wajah,
namun satu jiwa, satu bahasa, itulah
Bhinneka Tunggal Ika. 

Ontologi manusia dijunjung tinggi,
martabatnya suci, tak bisa diganti.
Epistemologi dari tanah sendiri,
tradisi, agama, sejarah bersatu harmoni.

Aksiologi jadi suluh cahaya,
membimbing langkah ke arah cita.
Keadilan, persatuan, kemanusiaan murni,
demokrasi arif, Ketuhanan abadi.

Wahai Pancasila, jiwa Nusantara,
engkau tak hanya dasar, tapi cahaya.
Dalam tafsir hidup dan filsafat bangsa,
kau akan kekal sepanjang masa.

Senin, 18 Agustus 2025

TAFSIR KEMERDEKAAN

Ketika kata merdeka terucap, sering kali yang terbayang adalah teriakan lantang, kibaran bendera, dan kenangan tentang perjuangan bangsa melawan penjajah. Namun jika kita menyelami maknanya lebih jauh, kemerdekaan sejati bukan hanya soal politik atau sejarah, melainkan juga perkara jiwa. Kemerdekaan sejati adalah ketika seseorang mampu berdaulat atas dirinya sendiri, bukan ketika ia merasa bebas karena menaklukkan orang lain.

Merdeka Bukan Sekadar Bebas

Banyak orang keliru memahami kebebasan. Ada yang mengira bebas berarti bisa melakukan apa saja tanpa batas, bahkan sekalipun merugikan orang lain. Padahal, kebebasan yang merampas kebebasan sesama bukanlah kemerdekaan, melainkan penindasan dalam wajah baru.

Kemerdekaan yang hakiki justru hadir saat kita mampu berkata, “Aku memilih jalanku sendiri, tanpa harus menjatuhkan orang lain.”
Ia hadir ketika kita bisa mengendalikan diri, menahan amarah, menolak bujuk rayu hawa nafsu, dan berani bersetia pada nurani.

Seorang filsuf pernah berkata, orang yang tidak bisa menguasai dirinya sendiri sesungguhnya masih hidup dalam penjajahan—penjajahan oleh keinginan, ego, dan ketakutan. Karena itu, merdeka atas diri sendiri adalah bentuk kemerdekaan tertinggi yang dapat dicapai manusia.

Menaklukkan Diri, Bukan Menaklukkan Sesama

Merdeka atas orang lain adalah ilusi. Itu hanyalah kemenangan semu yang menumbuhkan kesenjangan. Kita mungkin bisa memaksa orang lain untuk tunduk, tetapi apakah itu membuat kita benar-benar merdeka? Tidak. Itu justru menjadikan kita budak bagi keangkuhan.

Sebaliknya, merdeka atas diri sendiri menuntun kita pada keheningan batin. Kita tidak lagi hidup demi pengakuan, tidak lagi terikat oleh pandangan orang, dan tidak lagi berlari mengejar validasi yang tak pernah selesai. Kita menjadi merdeka karena kita cukup.

Puisi tentang Kemerdekaan

Merdeka bukan sorak yang riuh,
tapi bisikan lembut di dalam hati.
Merdeka bukan menaklukkan bumi,
tapi menaklukkan diri.

Saat kau mampu berdiri tanpa topeng,
saat kau berani jujur meski sunyi,
saat kau rela berbeda tanpa benci,
di sanalah merdeka sejati.

Kemerdekaan dalam Kehidupan

Kemerdekaan diri tidak harus ditandai dengan peristiwa besar. Ia hadir dalam keseharian:

  • Saat kita berani mengambil keputusan meski tidak populer.

  • Saat kita tetap tenang di tengah cercaan.

  • Saat kita ikhlas menerima kegagalan sebagai guru.

  • Saat kita menghargai kebebasan orang lain seperti kita menjaga kebebasan sendiri.

Inilah bentuk kemerdekaan yang lebih halus, lebih sunyi, namun lebih nyata.

Penutup: Perjuangan yang Tak Pernah Usai

Merdeka atas diri sendiri bukan pencapaian sekali jadi, melainkan perjalanan panjang. Setiap hari kita diuji: apakah kita menjadi tuan bagi diri, atau justru hamba dari ego dan nafsu?

Bangsa yang besar hanya bisa lahir dari individu-individu yang merdeka atas dirinya. Maka, tugas kita hari ini adalah menjaga api kemerdekaan itu tetap menyala—bukan hanya di monumen atau upacara, melainkan di dalam jiwa.

Karena sejatinya, merdeka bukan berarti bebas dari segala hal, tetapi mampu mengikat diri pada kebenaran, lalu menghormati kebebasan sesama.

Minggu, 10 Agustus 2025

Bapak Tafsir Al-Quran Klasik; AT-THABARIY

Pendahuluan

Di antara para ulama besar dalam sejarah Islam, nama Abū Ja‘far Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī (838–923 M) menempati posisi istimewa. Ia dikenal sebagai salah satu mufassir, sejarawan, dan ahli fikih terbesar sepanjang masa. Karyanya yang monumental, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, sering disebut sebagai tafsir paling berpengaruh di era klasik[^1].

Kehidupan Awal

Al-Ṭabarī lahir pada tahun 224 H (838 M) di Ṭabaristān, wilayah Persia (kini Iran)[^2]. Sejak kecil, ia menunjukkan kecerdasan luar biasa. Pada usia tujuh tahun, ia sudah hafal Al-Qur’an; usia delapan tahun mulai menghafal hadis, dan di usia sembilan, ia sudah mengimami salat di kampungnya[^3].

Kecintaannya pada ilmu membawanya mengembara ke berbagai kota pusat peradaban Islam: Baghdad, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, dan Makkah. Di setiap tempat, ia belajar pada ulama besar, menyerap berbagai aliran pemikiran[^4].

Metode Tafsir

Al-Ṭabarī mengembangkan tafsir bi al-ma’tsūr, yaitu penafsiran Al-Qur’an berdasarkan riwayat sahabat, tabi‘in, dan hadis Nabi[^5]. Karakteristik tafsirnya meliputi:

1. Penggunaan sanad — Ia mencantumkan sumber riwayat dengan lengkap[^6].
2. Analisis bahasa Arab klasik — Menjelaskan makna kata dengan rujukan pada syair Arab[^7].
3. Penyajian pendapat berbeda — Menampilkan beberapa pendapat ulama, lalu memilih yang paling kuat menurutnya[^8].
4. Konteks sejarah (asbāb al-nuzūl) — Mengaitkan ayat dengan peristiwa turunnya[^9].

Karya-Karya

Tafsir al-Ṭabarī (Jāmi‘ al-Bayān) — 30 jilid, menjadi rujukan tafsir klasik utama[^10].
Tārīkh al-Rusul wa al-Mulūk — Sejarah Nabi, para khalifah, dan kerajaan-kerajaan hingga abad ke-10 M[^11].
Kitab fikih mazhab al-Ṭabarī sendiri, meskipun mazhab ini tidak bertahan lama[^12].

Pengaruh dan Warisan

Tafsir al-Ṭabarī bukan hanya menjadi sumber tafsir, tapi juga rujukan penting dalam studi sejarah bahasa, hadis, dan sejarah Islam[^13]. Ulama setelahnya seperti Ibn Katsīr dan Al-Qurṭubī banyak mengutipnya[^14].

Ia wafat di Baghdad pada tahun 310 H (923 M) dalam keadaan dihormati, meski sempat menghadapi perbedaan pendapat teologis dengan sebagian kelompok[^15]. Namanya tetap harum sebagai "Imām al-Mufassirīn" (pemimpin para ahli tafsir)[^16].


---

Catatan Kaki

[^1]: Al-Dhahabi, Tadhkirat al-Huffaz, Jilid 2, hlm. 713.
[^2]: Ibn Khallikan, Wafayat al-A‘yan, Jilid 4, hlm. 191.
[^3]: Al-Suyuthi, Tabaqat al-Mufassirin, hlm. 103.
[^4]: Rosenthal, Franz, History of al-Tabari, Vol. 1, SUNY Press, 1989.
[^5]: Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid 2, hlm. 159.
[^6]: Ibid.
[^7]: Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Jilid 2, hlm. 482.
[^8]: Ibn Taymiyyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, hlm. 31.
[^9]: Ibid.
[^10]: Al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1, hlm. 103.
[^11]: Rosenthal, Franz, The History of al-Tabari, Vol. 39, SUNY Press, 1999.
[^12]: Al-Subki, Tabaqat al-Shafi‘iyyah al-Kubra, Jilid 3, hlm. 146.
[^13]: Al-Dhahabi, Siyar A‘lam al-Nubala, Jilid 14, hlm. 270.
[^14]: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Mukadimah.
[^15]: Al-Suyuthi, Husn al-Muhadarah, Jilid 1, hlm. 275.
[^16]: Al-Dhahabi, Tadhkirat al-Huffaz, Jilid 2, hlm. 713.