Maulid Itu Ya “Cangkeman”
Orang Jawa sering bilang: “Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana.” Artinya, martabat seseorang bisa terlihat dari lisannya, dan penampilan fisiknya dari pakaiannya. Di titik ini, ada persinggungan indah antara falsafah Jawa dan keteladanan Nabi Muhammad SAW—sosok yang lisannya penuh kebaikan, lembut, dan jujur.
Kalau kita bicara soal Maulid Nabi, salah satu cara paling sederhana untuk meneladani beliau adalah menjaga ucapan kita. Atau dalam istilah Jawa: ngajeni cangkeman.
---
Cangkeman dan Teladan Nabi
Rasulullah SAW pernah bersabda:
> “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari & Muslim)
Hadis ini sejalan dengan nasihat leluhur Jawa: cangkeman iku bisa nggawa slamet utawa cilaka. Mulut bisa jadi pintu surga, tapi juga bisa menyeret ke neraka. Nabi sendiri menunjukkan bahwa kata-kata beliau selalu menghadirkan rahmat, bukan sakit hati.
---
Cangkeman di Zaman Digital
Di era medsos, cangkeman nggak lagi terbatas pada ucapan. Jempol kita di layar HP juga bagian dari lisan kita hari ini. Bedanya, sekali kita menulis atau membagikan sesuatu, dampaknya bisa lebih luas daripada sekadar bicara di warung kopi.
Makanya, Maulid Nabi di zaman now bisa kita maknai begini:
-Jangan gampang nyebar hoaks (QS. Al-Hujurat: 6 mengingatkan agar kita tabayun sebelum menyampaikan berita).
-Jangan saling mencela di kolom komentar (QS. Al-Hujurat: 11 melarang kita mengolok-olok orang lain).
-Gunakan medsos untuk berbagi motivasi, doa, dan kebaikan (seperti perintah Nabi: sampaikan dariku walau satu ayat – HR. Bukhari).
Dengan begitu, cangkeman kita jadi berkah dan bukan jadi sumber masalah.
---
Nguri-uri Budaya, Niru Nabi
Dalam budaya Jawa, tepa selira (tenggang rasa) adalah nilai luhur. Artinya, sebelum berbicara kita diajak mikir: apa kata-kata ini bakal bikin orang lain seneng, atau malah nyakitin?
Nilai ini sejalan banget dengan akhlak Nabi Muhammad yang penuh kasih sayang.
Bayangkan kalau Maulid kita isi bukan hanya dengan shalawatan, tapi juga tekad untuk menata cangkeman—baik di dunia nyata maupun dunia maya.
---
Refleksi Penulis
Sebagai penulis artikel ini, saya juga sadar betul bahwa saya hanyalah manusia biasa. Lisan saya pun masih sering khilaf, ucapan saya kadang belum sepenuhnya mencerminkan teladan Nabi. Saya menulis ini bukan karena sudah sempurna, tapi justru karena saya masih belajar. Menulis adalah cara saya untuk menasihati diri sendiri terlebih dahulu, lalu berbagi kepada siapa pun yang membaca.
Semoga Allah memberi kekuatan kepada kita semua untuk terus memperbaiki diri, menjaga ucapan, dan meneladani Nabi Muhammad SAW—sedikit demi sedikit, dari hal paling sederhana.
Penutup
Maulid Nabi mengingatkan kita bahwa keteladanan Rasulullah itu sederhana tapi dalam. Dan salah satu pintu terdekatnya ada di mulut kita. Maka, maulid itu ya cangkeman: bagaimana kita jaga lisan agar penuh kebaikan, agar selaras dengan teladan Nabi, dan agar hidup kita jadi rahmat bagi sekitar.
Karena pada akhirnya, seperti pepatah Jawa:
“Ajining diri saka lathi.”
Harga diri kita terletak pada kata-kata yang keluar dari mulut—dan dari jempol di layar.
---
📚 Referens:
Al-Qur’an Surat Al-Hujurat: 6 & 11
HR. Bukhari & Muslim tentang “berkata baik atau diam”
HR. Bukhari tentang “sampaikan dariku walau satu ayat”
Pepatah Jawa: Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana






0 comments:
Posting Komentar