Pendahuluan
Di antara para ulama besar dalam sejarah Islam, nama Abū Ja‘far Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī (838–923 M) menempati posisi istimewa. Ia dikenal sebagai salah satu mufassir, sejarawan, dan ahli fikih terbesar sepanjang masa. Karyanya yang monumental, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, sering disebut sebagai tafsir paling berpengaruh di era klasik[^1].
Kehidupan Awal
Al-Ṭabarī lahir pada tahun 224 H (838 M) di Ṭabaristān, wilayah Persia (kini Iran)[^2]. Sejak kecil, ia menunjukkan kecerdasan luar biasa. Pada usia tujuh tahun, ia sudah hafal Al-Qur’an; usia delapan tahun mulai menghafal hadis, dan di usia sembilan, ia sudah mengimami salat di kampungnya[^3].
Kecintaannya pada ilmu membawanya mengembara ke berbagai kota pusat peradaban Islam: Baghdad, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, dan Makkah. Di setiap tempat, ia belajar pada ulama besar, menyerap berbagai aliran pemikiran[^4].
Metode Tafsir
Al-Ṭabarī mengembangkan tafsir bi al-ma’tsūr, yaitu penafsiran Al-Qur’an berdasarkan riwayat sahabat, tabi‘in, dan hadis Nabi[^5]. Karakteristik tafsirnya meliputi:
1. Penggunaan sanad — Ia mencantumkan sumber riwayat dengan lengkap[^6].
2. Analisis bahasa Arab klasik — Menjelaskan makna kata dengan rujukan pada syair Arab[^7].
3. Penyajian pendapat berbeda — Menampilkan beberapa pendapat ulama, lalu memilih yang paling kuat menurutnya[^8].
4. Konteks sejarah (asbāb al-nuzūl) — Mengaitkan ayat dengan peristiwa turunnya[^9].
Karya-Karya
Tafsir al-Ṭabarī (Jāmi‘ al-Bayān) — 30 jilid, menjadi rujukan tafsir klasik utama[^10].
Tārīkh al-Rusul wa al-Mulūk — Sejarah Nabi, para khalifah, dan kerajaan-kerajaan hingga abad ke-10 M[^11].
Kitab fikih mazhab al-Ṭabarī sendiri, meskipun mazhab ini tidak bertahan lama[^12].
Pengaruh dan Warisan
Tafsir al-Ṭabarī bukan hanya menjadi sumber tafsir, tapi juga rujukan penting dalam studi sejarah bahasa, hadis, dan sejarah Islam[^13]. Ulama setelahnya seperti Ibn Katsīr dan Al-Qurṭubī banyak mengutipnya[^14].
Ia wafat di Baghdad pada tahun 310 H (923 M) dalam keadaan dihormati, meski sempat menghadapi perbedaan pendapat teologis dengan sebagian kelompok[^15]. Namanya tetap harum sebagai "Imām al-Mufassirīn" (pemimpin para ahli tafsir)[^16].
---
Catatan Kaki
[^1]: Al-Dhahabi, Tadhkirat al-Huffaz, Jilid 2, hlm. 713.
[^2]: Ibn Khallikan, Wafayat al-A‘yan, Jilid 4, hlm. 191.
[^3]: Al-Suyuthi, Tabaqat al-Mufassirin, hlm. 103.
[^4]: Rosenthal, Franz, History of al-Tabari, Vol. 1, SUNY Press, 1989.
[^5]: Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid 2, hlm. 159.
[^6]: Ibid.
[^7]: Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Jilid 2, hlm. 482.
[^8]: Ibn Taymiyyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, hlm. 31.
[^9]: Ibid.
[^10]: Al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1, hlm. 103.
[^11]: Rosenthal, Franz, The History of al-Tabari, Vol. 39, SUNY Press, 1999.
[^12]: Al-Subki, Tabaqat al-Shafi‘iyyah al-Kubra, Jilid 3, hlm. 146.
[^13]: Al-Dhahabi, Siyar A‘lam al-Nubala, Jilid 14, hlm. 270.
[^14]: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Mukadimah.
[^15]: Al-Suyuthi, Husn al-Muhadarah, Jilid 1, hlm. 275.
[^16]: Al-Dhahabi, Tadhkirat al-Huffaz, Jilid 2, hlm. 713.






0 comments:
Posting Komentar