Halaman

Sabtu, 30 Agustus 2025

Istana Pancasila: Simbolisme tanpa Jiwa

Pancasila lahir dari pergulatan sejarah, dari darah dan air mata perjuangan bangsa. Bung Karno menyebutnya sebagai “jiwa seluruh rakyat Indonesia.” Ideologi ini dimaksudkan bukan hanya untuk dipajang, melainkan untuk menjadi napas dalam kehidupan berbangsa.

Namun, apa yang kita saksikan hari ini? Pancasila lebih sering tampil seperti sebuah istana megah: berdiri kokoh, dihias dengan kata-kata indah, dikunjungi setiap kali ada seremoni, tetapi kosong dari kehidupan nyata. Istana itu tampak anggun dari luar, namun di dalamnya sunyi—tidak ada denyut, tidak ada jiwa.
---


Di atas kertas, sila pertama adalah fondasi moral bangsa. Tapi di lapangan, agama kerap dijadikan topeng. Korupsi diselubungi jargon religius, intoleransi dibenarkan atas nama iman, dan politik identitas dipelihara demi kekuasaan. Yang tersisa hanyalah moralitas yang diperdagangkan.
---


Kita diajari menghormati martabat manusia. Tapi kenyataannya, hukum bekerja layaknya pisau: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Rakyat kecil mudah dihukum, sementara pejabat yang menjarah kekayaan negara justru dilindungi. Sila kemanusiaan tak lebih dari ukiran indah di dinding istana—dipuja, tapi tak pernah benar-benar diwujudkan.
---


Persatuan adalah kekuatan terbesar bangsa ini. Namun, di tangan elite politik, persatuan sering dijadikan komoditas. Demi kursi kekuasaan, rakyat dipecah belah, identitas dipertajam, dan konflik sosial dibiarkan tumbuh. Istana ini tampak kokoh, tetapi temboknya dibangun dari retakan yang sengaja dipelihara.
---


Demokrasi mestinya ruang rakyat untuk bersuara. Namun, yang tersisa hanyalah ritual lima tahunan. Kotak suara dijadikan panggung, suara rakyat diperjualbelikan, dan politik uang menjadi bahasa yang paling fasih. Demokrasi dalam istana ini hanyalah pertunjukan, bukan kenyataan.
---

Keadilan Sosial yang Menjadi Mimpi

Puncak cita-cita Pancasila adalah keadilan sosial. Namun, yang terjadi justru kesenjangan yang kian menganga. Segelintir orang hidup di menara gading, sementara jutaan rakyat bergulat dengan kemiskinan. Sila kelima tinggal jadi slogan di spanduk, sementara di jalanan, ketidakadilan terus berlangsung.
---


“Istana Pancasila” ini indah untuk dipandang, tetapi tidak memberi kehidupan. Kita menghafalnya di sekolah, mendengarnya di pidato, dan melihatnya dipajang di kantor-kantor. Namun, saat kebijakan dibuat, sila-sila itu tak lebih dari hiasan.

Bung Karno pernah berpesan:

> “Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia… yang memberi kehidupan kepada negara kita yang baru lahir ini.”

Kini, jiwa itu membeku. Ia terpenjara dalam formalitas, dijadikan simbol sakral tanpa roh.

---

Penutup

Pancasila tidak pernah salah. Yang salah adalah ketika kita menjadikannya istana kosong: megah secara simbol, hampa secara makna.

Pertanyaannya, apakah kita akan terus merawat Pancasila sebagai bangunan indah yang hanya berdiri di atas retorika? Ataukah kita berani membuka pintu istana itu, membersihkannya dari debu formalitas, dan menghidupkan kembali roh yang dulu diperjuangkan para pendiri bangsa?



0 comments:

Posting Komentar