Halaman

Jumat, 12 September 2025

Tafsir Demo: Antara Suara Rakyat, Ayat, dan Renungan Diri

Demo atau demonstrasi sering dipahami hanya sebagai kerumunan massa yang memenuhi jalanan, mengangkat poster, dan berteriak lantang. Namun, jika direnungkan lebih dalam, demo adalah sebuah teks sosial yang sarat makna. Ia adalah bahasa rakyat ketika saluran formal tak lagi mampu menampung aspirasi. Ia juga merupakan cermin relasi antara rakyat dan penguasa, bahkan—jika kita mau jujur—cermin diri kita sendiri.


Demo sebagai Suara Kebenaran

Al-Qur’an menegaskan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar:


> “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)


Dalam konteks sosial-politik hari ini, demo bisa dibaca sebagai bentuk nyata dari ayat ini. Ia adalah panggilan kolektif rakyat untuk mengingatkan penguasa, menolak kezaliman, atau menuntut keadilan. Setiap spanduk, orasi, bahkan lokasi yang dipilih, adalah simbol yang berbicara lebih keras daripada kata-kata di meja birokrasi.


Namun, demo juga bukan tanpa risiko. Di sinilah kita diingatkan:


> “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya...” (QS. Al-A’raf: 56)


Demo yang damai adalah bagian dari upaya menegakkan kebenaran, tetapi ketika berubah menjadi anarki, maknanya bisa terdistorsi.


Demo di Era Digital

Seiring perkembangan teknologi, demo kini tidak hanya berlangsung di jalan raya, melainkan juga di ruang virtual. Gerakan #ReformasiDikorupsi, Black Lives Matter, hingga aksi-aksi iklim global menunjukkan bagaimana media sosial menjadi ruang mobilisasi.


Namun, di balik itu, lahir juga fenomena “aktivisme instan”: sekadar membagikan unggahan tanpa benar-benar terlibat dalam perjuangan nyata. Di sinilah relevan firman Allah:


> “Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Saff: 2-3)


Ayat ini menegur saya secara pribadi: sudahkah saya benar-benar terlibat, atau hanya menjadi pengamat pasif?


Demo, Krisis Kepercayaan, dan Politik

Di Indonesia, demo biasanya muncul saat ada krisis kepercayaan terhadap negara: pengesahan undang-undang kontroversial, ketidakadilan hukum, atau beban ekonomi rakyat. Demo adalah alarm sosial—tanda bahwa komunikasi antara rakyat dan pemerintah sedang tidak sehat.


Namun, kita juga tahu, demo sering dibajak kepentingan politik. Isu yang lahir dari kegelisahan rakyat kadang dipolitisasi, sehingga substansi aspirasi tereduksi. Dalam hal ini, ayat Allah mengingatkan:


> “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...” (QS. Al-Maidah: 8)


Keadilan adalah inti dari demo sejati. Tanpa itu, ia hanya menjadi keramaian kosong atau alat provokasi.


Menafsirkan Demo, Menafsirkan Diri

Setiap kali saya melihat demo, ada rasa campur aduk dalam diri saya: kagum, cemas, sekaligus tertantang. Kagum karena ada keberanian rakyat untuk bersuara. Cemas karena potensi kerusuhan yang bisa muncul. Dan tertantang karena saya merasa ikut ditanya: sudahkah saya berlaku adil dalam kehidupan kecil saya sendiri?


Firman Allah seolah menatap langsung ke dalam hati saya:


> “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri...” (QS. An-Nisa: 135)


Ayat ini membuat saya sadar: bagaimana mungkin saya menuntut negara berlaku adil, jika saya sendiri sering lalai berlaku adil di lingkaran kecil saya—dalam keluarga, pekerjaan, atau pertemanan?


Penutup: Tafsir Demo sebagai Tafsir Kehidupan


Menafsirkan demo lewat Al-Qur’an dan analisis sosial terkini mengajarkan saya satu hal: demo bukan hanya peristiwa politik, melainkan juga refleksi spiritual. Ia adalah amar ma’ruf nahi munkar dalam skala sosial, sekaligus ujian kesabaran dan kedewasaan demokrasi.


Namun yang lebih penting, demo juga bisa kita baca sebagaidemo batin”—protes diri terhadap kebiasaan buruk, ketidakadilan kecil, atau kelemahan pribadi yang sering kita biarkan. Sebab sebelum kita menuntut negara menegakkan keadilan, kita harus berani menegakkannya dalam diri kita sendiri.


Maka, tafsir demo bagi saya bukan hanya tentang rakyat melawan penguasa, tetapi juga tentang manusia melawan dirinya: melawan kemalasan, ketidakjujuran, dan ketidakadilan yang bersemayam di hati. Itulah demo yang sesungguhnya, demo yang paling sunyi sekaligus paling berat.

0 comments:

Posting Komentar