Halaman

Minggu, 07 September 2025

Tafsir Gerhana Bulan: Komparasi Filosofi Jawa dan Islam

Setiap kali gerhana bulan datang, langit seperti menyuguhkan drama yang membuat manusia terdiam. Bulan yang biasanya terang, perlahan tertutup bayangan bumi, tenggelam dalam gelap, lalu muncul kembali. Fenomena ini memang bisa dijelaskan dengan sains, tapi sejak dulu, manusia lebih suka membacanya dengan rasa—menjadikannya tanda, pertanda, bahkan peringatan. Begitu pula dalam tradisi Jawa dan Islam, gerhana dipahami dengan cara berbeda, namun keduanya sama-sama menawarkan ruang untuk merenung.


Dalam kosmologi Jawa, gerhana adalah peristiwa kala menelan bulan. Serat Kandha menuturkan:Kala anglangkung rembulan, dumadine pepeteng ing jagad — kala melintasi bulan, terjadilah kegelapan di dunia. Mitos ini menyiratkan pesan filosofis: manusia pun mengalami gerhana batin, ketika cahaya sejati tertutup oleh amarah dan nafsu. Karena itu, leluhur Jawa menempuh laku prihatin saat gerhana: semedi, tapa bisu, atau mengurangi kesenangan. Bagi mereka, mengheningkan diri adalah cara untuk menjaga harmoni jagad cilik (manusia) dengan jagad gede (alam semesta).


Islam memandang gerhana dengan terang lain. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Maka jika kalian melihatnya, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Di sini, gerhana tidak dikaitkan dengan mitos atau makhluk kosmis, melainkan dengan kesadaran tauhid: tanda kebesaran Allah yang mengingatkan manusia akan kefanaannya.


Bayangkan seorang pemuda di Yogyakarta duduk di teras rumah pada malam gerhana. Dari kejauhan, terdengar gamelan halus dari rumah tetangga yang masih menjaga tradisi Jawa, sementara dari masjid kampung, pengeras suara mengajak shalat khusuf. Ia menatap langit, teringat dua kisah: dari neneknya bahwa kala menelan bulan, dan dari gurunya bahwa gerhana adalah tanda kebesaran Allah. Dua tafsir itu bertemu di hatinya. Malam gerhana yang hening menjadi ruang kontemplasi: menjaga keseimbangan diri sekaligus mengingat Sang Pencipta.


Hari ini, sains memberi kita penjelasan yang jelas: gerhana bulan terjadi karena bumi menghalangi cahaya matahari menuju bulan. Namun pengetahuan itu tidak harus menghapus makna. Justru, ia memperkaya tafsir. Seperti orang Jawa dulu bersemedi, atau umat Islam shalat khusuf, kita pun bisa menjadikan gerhana sebagai jeda dari hiruk-pikuk modernitas: menutup gawai, melupakan rutinitas, dan memberi ruang bagi hati untuk hening.


Gerhana bulan, dengan caranya yang singkat dan sederhana, selalu memberi pelajaran: bahwa terang dan gelap datang silih berganti. Dari Jawa kita belajar menjaga harmoni jagad, dari Islam kita belajar mengingat Allah dan akhirat. Dua jalan berbeda, tetapi keduanya sama-sama menuntun manusia untuk menjadi bijak di bawah langit yang terus berubah.


0 comments:

Posting Komentar