Pendahuluan
Pancasila bukan hanya dasar negara. Ia adalah roh bangsa yang mengikat perbedaan, merajut persatuan, dan menuntun arah perjalanan Indonesia. Dalam sejarah, Pancasila telah berkali-kali diuji: pemberontakan, krisis politik, gempuran ideologi asing, hingga derasnya arus globalisasi. Namun, Pancasila tetap tegak.
Inilah yang kita sebut kesaktian Pancasila: bukan dalam arti gaib atau mistis, melainkan kekuatan moral dan spiritual yang membuat bangsa ini tidak mudah runtuh.
Mengapa Disebut “Sakti”?
-Kesaktian Pancasila lahir dari daya hidupnya yang selalu relevan.
-Ketuhanan menjaga agar bangsa ini tetap berakar pada nilai ilahi, meski berbeda agama.
-Kemanusiaan mengingatkan bahwa setiap orang berharga, tanpa memandang suku atau status.
-Persatuan mengikat ratusan etnis, bahasa, dan budaya menjadi satu rumah bernama Indonesia.
-Kerakyatan memberi ruang bagi demokrasi yang bersumber dari musyawarah, bukan pemaksaan.
-Keadilan Sosial menuntun agar kekayaan negeri ini dinikmati bersama, bukan segelintir orang.
Kesaktian Pancasila tampak nyata ketika bangsa ini mampu melewati masa-masa sulit. Dari perlawanan terhadap kolonialisme, tragedi perpecahan, hingga krisis ekonomi—Indonesia selalu bisa bangkit, karena Pancasila menjadi pegangan bersama.
Jejak Filosofi Jawa
Dalam falsafah Jawa, ada pepatah: “Memayu hayuning bawana”—membuat dunia lebih indah dan harmonis (Notonagoro, 1975).
Pancasila adalah pengejawantahan ajaran ini. Ia sakti karena tidak memecah, melainkan merawat keseimbangan.
Ada pula pitutur: “Sapa sing nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”—menang tanpa harus merendahkan lawan. Inilah wajah Persatuan Indonesia: sakti karena mampu mengalahkan ego tanpa kekerasan, melainkan dengan kebijaksanaan.
Kesaktian Pancasila bukan karena kekuatan senjata, tetapi karena kekuatan nilai-nilai yang tertanam dalam hati rakyat (Kaelan, 2013).
Refleksi Penulis
Kesaktian Pancasila bagi saya bukan sekadar sejarah 1 Oktober yang diperingati setiap tahun. Ia nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Saya melihat kesaktiannya saat tetangga yang berbeda agama saling membantu membangun rumah. Saya merasakan kesaktiannya ketika warga desa bergotong royong memperbaiki jalan. Saya mendengar napasnya di kelas, ketika anak-anak belajar bersama tanpa peduli asal-usul.
Pancasila sakti karena hidup di hati rakyat. Ia bukan semboyan kosong, melainkan nyala kecil yang menjaga bangsa ini tetap ada.
Pepatah Jawa berkata: “Urip iku urup”—hidup itu menyala. Pancasila sakti karena membuat hidup bangsa ini tetap menyala, meski diterpa angin kencang.
Puisi Jawa: Geni Kang Ora Padam
Ing tanah amba aran Nusantara,
lima pepadhang metu saka siji jiwa.
Menyala kaya obor ing petenging wengi,
njaga lakon, supaya ora kesasar dalan.
Ketuhanan, srengenge esuk kang madhangi,
anget tanpa milih sapa kang ngrasakake.
Kemanusiaan, koyok semilir angin seger,
ngelus pasuryan kang kesel lan lelah.
Persatuan, koyok segara jembar,
nglumpukake ombak, arus, lan karang dadi siji.
Kerakyatan, koyok wit beringin,
pangayoman kanggo kabeh, tanpa pilih rupa.
Keadilan, kaya lemah subur,
maringi woh tumrap saben sing nandur.
Iki kesaktiane Pancasila—
geni kang ora tau padam,
sanadjan udan deres, sanadjan angin ribut,
isih murup, krono dijogo karo atine anak bangsa.
---
Rujukan:
Bung Karno (1945), Lahirnya Pancasila (Pidato 1 Juni).
Notonagoro (1975), Pancasila secara Ilmiah Populer.
Kaelan (2013), Pendidikan Pancasila.
Magnis-Suseno (2016), Etika Politik.
Falsafah Jawa: Memayu hayuning bawana, Sapa sing nglurug tanpa bala, Urip iku urup.







0 comments:
Posting Komentar