Halaman

Sabtu, 13 September 2025

Wohing Pakarti: Menanam Perbuatan, Menuai Kehidupan

Pengantar

Orang Jawa punya banyak pitutur luhur yang tidak lekang dimakan zaman. Salah satunya adalah falsafah wohing pakarti. Meski terdengar sederhana, ungkapan ini menyimpan nasihat mendalam: bahwa hidup kita sesungguhnya adalah hasil dari apa yang kita lakukan. Menariknya, falsafah ini sejalan dengan pesan-pesan Al-Qur’an yang juga menekankan pentingnya tanggung jawab manusia atas setiap amal perbuatannya.

Makna Wohing Pakarti

Secara harfiah, wohing berarti buah atau hasil, sementara pakarti berarti perbuatan atau perilaku. Jadi, wohing pakarti bisa dipahami sebagai “buah dari perbuatan.” Falsafah ini mengajarkan bahwa tidak ada tindakan manusia yang sia-sia. Apa pun yang kita lakukan akan kembali kepada kita, entah dalam bentuk kebaikan atau keburukan.

Orang Jawa dulu sering menasehatkan,sing becik ketitik, sing olo ketara — yang baik akan tampak, yang buruk akan terlihat. Ini sejalan dengan prinsip bahwa pada akhirnya, semua perilaku akan memperlihatkan hasilnya.


Dalam Cahaya Al-Qur’an

Al-Qur’an memberikan penguatan bahwa setiap amal manusia akan mendapat balasan yang setimpal.

Balasan sekecil apapun perbuatan:

“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az-Zalzalah [99]: 7-8)

Kebaikan kembali pada pelakunya:

“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri, dan barang siapa berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri. Dan Tuhanmu tidak pernah menzalimi hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushshilat [41]: 46)

Ayat-ayat ini seakan menjadi penjelasan langsung atas makna wohing pakarti. Apa yang kita tanam dalam hidup, itulah yang akan kita tuai.


Sebuah Kisah

Ada seorang pedagang kecil di pasar tradisional. Ia dikenal jujur, meski barang dagangannya sederhana. Kadang ia memberi sedikit tambahan untuk pembeli, sambil berkata, Mugi Barokah.” Orang-orang pun merasa nyaman dan percaya padanya.

Beberapa tahun kemudian, usahanya berkembang. Banyak orang merekomendasikan dagangannya, bukan karena iklan atau promosi, melainkan karena ketulusan dan kejujurannya. Inilah buah nyata dari wohing pakarti: kejujuran kecil yang ditanam setiap hari berbuah menjadi keberkahan yang besar.

Sebaliknya, kita juga sering melihat contoh sebaliknya—orang yang terbiasa curang atau menipu. Mungkin awalnya tampak untung, tetapi lambat laun akan kehilangan kepercayaan, bahkan merusak hidupnya sendiri.


Filosofi Hidup

Falsafah wohing pakarti mengandung pesan filosofis yang relevan sepanjang zaman:

1. Hidup adalah tanggung jawab pribadi. Tidak ada yang bisa lari dari akibat perbuatannya sendiri.

2. Perilaku kecil pun punya dampak. Senyum tulus, kata-kata baik, atau sebaliknya—ucapan kasar—semua akan kembali kepada kita.

3. Keadilan Tuhan bersifat sempurna. Allah tidak pernah menzalimi, manusia sendirilah yang menentukan jalannya dengan amalnya.

Dengan menyadari hal ini, kita diajak untuk hidup lebih waspada, bijak, dan penuh pertimbangan.


Relevansi untuk Masa Kini

Di era modern yang serba cepat, banyak orang ingin hasil instan. Padahal falsafah wohing pakarti mengingatkan: proses dan perilaku menentukan hasil.

Kejujuran di tempat kerja akan berbuah kepercayaan.

Kedisiplinan dalam belajar akan menghasilkan prestasi.

Sebaliknya, kelalaian akan berbuah penyesalan.

Jika setiap orang sadar bahwa semua tindakannya akan kembali pada dirinya, tentu ia akan lebih berhati-hati dalam bersikap, lebih menghargai orang lain, dan lebih menjaga harmoni bersama.


Refleksi Penulis

Saat menuliskan artikel ini, saya teringat pada diri sendiri: seringkali kita menginginkan hasil besar tanpa sadar bahwa yang paling menentukan justru hal-hal kecil yang kita lakukan setiap hari. Ucapan yang santun, sikap yang tulus, atau kebiasaan disiplin—itulah benih-benih yang kelak menjadi “buah kehidupan.”

Saya pun merenung, jangan-jangan banyak masalah dalam hidup ini adalah wohing pakarti dari kesalahan atau kelalaian kita di masa lalu. Sebaliknya, kebaikan yang datang kepada kita juga mungkin adalah buah dari amal-amal kecil yang pernah kita tanam.

Falsafah Jawa dan pesan Al-Qur’an sama-sama mengingatkan: kita tidak bisa mengelak dari tanggung jawab. Maka yang bisa kita lakukan hanyalah terus menanam kebaikan, sambil berharap Allah menumbuhkan dan memberkahi buahnya.


Penutup

Wohing pakarti bukan sekadar pepatah Jawa kuno, melainkan kearifan yang hidup dan terus relevan. Ia mengajarkan bahwa kita adalah penanam sekaligus pemetik dari kebun kehidupan kita sendiri. Al-Qur’an pun menegaskan hal yang sama: tidak ada amal yang hilang, semua akan kembali kepada pelakunya.

Dengan menghayati falsafah ini, kita bisa menjalani hidup dengan lebih sadar, bijak, dan selaras dengan kehendak Ilahi. Karena pada akhirnya, hidup adalah tentang apa yang kita tanam—dan apa yang kita tuai.


---


Kutipan Tembang Jawa

Ngelmu iku kalakone kanthi laku,

lekase lawan kas, tegese kas nyantosani,

setya budya pangekese dur angkara.”

(Serat Wedhatama, Pupuh Pangkur)

Terjemahan bebas (bahasa Indonesia):

Ilmu itu dapat terlaksana dengan perbuatan,

dimulai dengan tekad kuat yang menguatkan hati,

dan kesungguhan budi yang mampu menundukkan sifat angkara.

Kutipan ini sejalan dengan falsafah wohing pakarti: ilmu, niat, dan kebaikan baru berbuah jika diwujudkan dalam tindakan nyata.


0 comments:

Posting Komentar