Halaman

Sabtu, 09 Agustus 2025

Tafsir Al-Qur’an adalah Anak Zaman

Pendahuluan

Pernyataan "tafsir Al-Qur’an adalah anak zaman" menggambarkan kenyataan bahwa setiap karya tafsir lahir dari konteks sosial, politik, budaya, dan intelektual tertentu. Dengan kata lain, meskipun Al-Qur’an bersifat universal dan abadi, penafsiran manusia terhadapnya sangat dipengaruhi oleh kondisi zaman yang melingkupinya[^1].

Hakikat Tafsir sebagai Anak Zaman

Tafsir tidak lahir di ruang hampa. Setiap mufasir membawa latar belakang pengetahuan, ideologi, dan problematika zamannya ke dalam penafsiran[^2]. Oleh karena itu, penafsiran ulama pada abad ke-3 H tentu berbeda dengan penafsiran ulama pada abad ke-15 H, meskipun sama-sama merujuk pada teks yang sama. Misalnya, tafsir klasik seperti Jāmi‘ al-Bayān karya al-Ṭabarī banyak dipengaruhi metode riwayat dan bahasa Arab murni, sementara tafsir modern seperti al-Manār karya Rasyid Ridha lebih kental dengan semangat reformasi sosial[^3].

Faktor Zaman dalam Penafsiran

Ada beberapa faktor yang membuat tafsir bersifat kontekstual[^4]:

1. Kondisi Sosial dan Politik – Penafsiran sering digunakan untuk menjawab problem masyarakat pada masanya, seperti kolonialisme, kemiskinan, atau ketidakadilan.


2. Perkembangan Ilmu Pengetahuan – Munculnya temuan sains modern memengaruhi penafsiran ayat-ayat kauniyah.


3. Perubahan Nilai dan Budaya – Pergeseran pandangan tentang hak asasi manusia, gender, dan pluralisme memicu lahirnya tafsir-tematik baru.

Konsekuensi dari Sifat Kontekstual Tafsir

Kesadaran bahwa tafsir adalah anak zaman memiliki dua konsekuensi utama:

Penghormatan terhadap Keragaman Tafsir – Tidak semua perbedaan tafsir adalah kontradiksi, melainkan bentuk adaptasi terhadap zaman.

Kebutuhan Tafsir Kontemporer – Masyarakat modern memerlukan tafsir yang mampu menjawab tantangan global, teknologi, dan etika baru[^5].


Penutup

Tafsir Al-Qur’an sebagai anak zaman menunjukkan bahwa pemahaman manusia terhadap wahyu selalu bergerak dan berkembang. Tugas generasi kini bukan hanya mewarisi tafsir terdahulu, tetapi juga menggali makna Al-Qur’an dalam kerangka zaman ini, tanpa kehilangan ruh dan prinsip dasarnya[^6].


---

Catatan Kaki:
[^1]: Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hlm. 6.
[^2]: Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), hlm. 45.
[^3]: Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manār, Juz I (Kairo: al-Manār, 1900), hlm. 25-26.
[^4]: M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 57.
[^5]: Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 112.
[^6]: Amin Abdullah, Islam dan Perubahan Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 89.

0 comments:

Posting Komentar