Halaman

Minggu, 31 Agustus 2025

Museum Hanyalah Peninggalan Sejarah, Bukan untuk Dijarah

Museum adalah tempat menyimpan jejak perjalanan peradaban manusia. Di dalamnya tersimpan benda-benda bersejarah, naskah, hingga artefak yang menjadi saksi kehidupan masa lampau. Semua itu bukan sekadar koleksi benda mati, melainkan warisan budaya yang harus dijaga. Sayangnya, kesadaran ini sering terabaikan.


Belum lama ini, publik dikejutkan oleh peristiwa di sebuah kota yang terletak di Jawa bagian Timur. Dalam aksi demonstrasi yang awalnya ditujukan untuk menyuarakan aspirasi, amarah massa justru merembet pada perusakan fasilitas umum, termasuk sebuah museum. Gedung yang seharusnya menjadi ruang pembelajaran sejarah justru menjadi korban dari luapan emosi yang tidak terkendali. Kaca pecah, fasilitas rusak, dan suasana mencekam menorehkan luka, bukan hanya secara fisik pada bangunan, tetapi juga secara moral bagi masyarakat yang menghargai sejarah.


Warisan untuk Generasi, Bukan Pelampiasan Emosi


Museum bukanlah milik pribadi, melainkan milik seluruh masyarakat dan generasi mendatang. Ketika museum dirusak atau dijarah dalam aksi massa, yang hilang bukan sekadar barang atau bangunan, tetapi juga warisan pengetahuan yang tidak bisa diganti. Generasi selanjutnya akan kehilangan kesempatan untuk belajar langsung dari bukti sejarah yang otentik.


Nilai yang Tak Tergantikan


Artefak, naskah, atau benda tradisional yang tersimpan di museum bukanlah barang dagangan. Nilainya tidak diukur dengan uang, melainkan dengan makna historis yang tak tergantikan. Perusakan museum dalam peristiwa di Kediri menjadi pengingat pahit bahwa kemarahan sekejap dapat menghancurkan sesuatu yang dibangun dan dirawat selama puluhan bahkan ratusan tahun.


Peran Kesadaran Kolektif


Peristiwa di Kediri harus menjadi pelajaran bersama. Demonstrasi adalah hak demokratis, tetapi tidak boleh merugikan kepentingan publik yang lebih luas. Apalagi jika yang menjadi korban adalah ruang-ruang pendidikan sejarah. Menjaga museum bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama seluruh lapisan masyarakat.


Sebagaimana pesan bijak Presiden Soekarno: "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya." Museum adalah salah satu cara kita menghargai jasa mereka. Merusaknya sama saja dengan melupakan sejarah, dan melupakan sejarah berarti melemahkan fondasi bangsa itu sendiri.


Soekarno juga pernah mengingatkan dengan tegas: "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!" (Jasmerah). Pesan itu relevan hingga kini, bahwa bangsa yang meremehkan sejarah akan kehilangan arah dan identitasnya. Museum hadir sebagai pengingat, agar kita tidak melupakan akar perjuangan dan perjalanan bangsa.


Penutup


Museum bukanlah gudang harta, apalagi tempat pelampiasan amarah. Ia adalah rumah pengetahuan, ruang penghormatan terhadap sejarah, dan jembatan bagi generasi. Perusakan museum dalam demo di Kediri membuktikan betapa rapuhnya kesadaran kita akan pentingnya warisan sejarah. Semoga kejadian itu menjadi peringatan keras agar kita lebih bijak: menyuarakan aspirasi boleh, tetapi jangan sampai mengorbankan sejarah.




Sabtu, 30 Agustus 2025

Istana Pancasila: Simbolisme tanpa Jiwa

Kamis, 28 Agustus 2025

Setinggi Apapun Kita Terbang, Tempat Sujud Kita Tetaplah di Tanah

Kita sering bercita-cita setinggi langit, berlari mengejar dunia, mendaki tangga kejayaan, hingga merasa telah berada di puncak.

Namun ada satu hakikat yang tak bisa kita lupakan:

Setinggi apapun kita terbang, tempat sujud kita tetaplah di tanah.


Di tanah inilah kita berasal, di tanah pula kita hidup, dan kepada tanah kita akan kembali.

---

Sujud: Saat Puncak Ketinggian Menjadi Kerendahan


Allah berfirman:

> “Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi serta para malaikat, sedang mereka tidak menyombongkan diri.”

(QS. An-Nahl [16]: 49)


Ketika kening menyentuh bumi, saat itulah manusia menemukan dirinya.

Bahwa seberapa tinggi pun pangkatnya, seberapa megah pun tahtanya, ia hanyalah hamba.

Sujud adalah bahasa kerendahan, sekaligus jalan menuju ketinggian hakiki.

---

Sulaiman: Kekuasaan yang Dibingkai Sujud

Nabi Sulaiman `alaihissalam—raja sekaligus nabi—diberi kerajaan yang tak tertandingi.

Jin, manusia, burung, bahkan angin pun tunduk pada perintahnya.

Namun, setiap kali nikmat besar datang, ia tidak membanggakan diri.

Ia berkata dengan penuh kesadaran:

> “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya).”

(QS. An-Naml [27]: 40)

Dan dalam doa penuh kerendahan ia memohon:

> “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.”

(QS. Shad [38]: 35)


Perhatikanlah…

Sulaiman yang agung tidak lebih dulu meminta kekuasaan, melainkan ampunan.

Karena ia tahu, sebesar apa pun kerajaan, yang lebih ia butuhkan hanyalah ridha Allah.

---


Qarun: Ketika Kekayaan Menenggelamkan

Berbeda dengan Sulaiman, Qarun yang kaya raya justru pongah.

Ia berkata dengan sombong:

> “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.”

(QS. Al-Qashash [28]: 78)


Maka bumi pun menelannya bersama semua kebanggaannya.

Ia yang merasa tinggi, justru dikembalikan ke tanah dalam kehinaan.


---


Pelajaran Kehidupan


Dari Sulaiman dan Qarun kita belajar:

Sulaiman terbang tinggi, namun tetap bersujud di tanah. Maka Allah muliakan namanya sepanjang zaman.

Qarun merasa tinggi, namun enggan bersujud. Maka Allah jatuhkan ia ke dalam bumi.



Rabu, 27 Agustus 2025

Akademik adalah Jalan yang Unik

Kalau kita ngomongin soal akademik, banyak orang langsung kepikiran tugas numpuk, skripsi yang nggak kelar-kelar, atau dosen killer yang bikin pusing. Padahal sebenarnya, dunia akademik itu nggak melulu tentang nilai atau gelar. Ia punya jalannya sendiri yang unik, dan nggak semua orang bisa merasakannya dengan cara yang sama.


1. Lebih dari Sekadar Nilai


Di bangku kuliah, kadang kita sibuk ngejar IPK. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, akademik itu lebih luas dari angka-angka di transkrip. Prosesnya justru yang bikin kita berkembang—mulai dari belajar mikir kritis, terbiasa nyari referensi, sampai berani mempertanyakan sesuatu sebelum langsung percaya.


> “Nilai bisa saja hilang, tapi cara berpikir akan terus melekat.”


2. Cara Pandang yang Berbeda


Hal menarik dari akademik adalah bagaimana ia ngajarin kita buat lihat dunia dari kacamata yang lebih luas. Kita jadi terbiasa mikir logis, nyambungin teori dengan kenyataan, bahkan kadang bisa jadi "detektif kecil" pas lagi analisis masalah. Unik kan?


> “Belajar bukan sekadar menghafal, tapi melatih cara kita memahami hidup.”


3. Perjalanan Tiap Orang Nggak Sama


Ada teman yang kuliah 4 tahun langsung lulus, ada juga yang harus muter-muter dulu, pindah jurusan, atau nyambi kerja biar bisa lanjut kuliah. Semua orang punya jalannya sendiri, dan itulah yang bikin perjalanan akademik jadi penuh cerita.


> “Nggak masalah kalau jalannya lebih lama, yang penting tetap melangkah.


4. Nggak Cuma di Kampus


Jangan salah, akademik nggak berhenti di kelas atau laboratorium. Banyak ilmu yang kita dapat bisa kepake buat bantu masyarakat. Misalnya, penelitian kecil bisa jadi solusi buat masalah lingkungan, atau ide-ide baru bisa jadi inspirasi kebijakan. Jadi, akademik itu nggak cuma soal teori, tapi juga soal kontribusi nyata.


> “Ilmu itu baru bernilai kalau bisa bermanfaat untuk orang lain.”


5. Cerita yang Selalu Diingat


Siapa sih yang bisa lupa pengalaman akademik? Dari begadang bareng ngerjain tugas, presentasi deg-degan di depan kelas, sampai senyum lega pas akhirnya dinyatakan lulus. Semua momen itu jadi bagian dari perjalanan hidup yang unik banget.


> “Di balik lelahnya akademik, selalu ada cerita yang bakal kita kenang.”


---


Penutup


Singkatnya, akademik itu jalan yang unik karena setiap orang punya ceritanya masing-masing. Ada yang penuh drama, ada yang penuh prestasi, ada juga yang campur aduk antara keduanya. Tapi apapun bentuknya, akademik selalu punya cara sendiri buat bikin kita tumbuh, belajar, dan lebih siap menghadapi dunia.


> “Akademik bukan akhir dari perjalanan, tapi batu loncatan untuk langkah yang lebih besar.”

Minggu, 24 Agustus 2025

Jalan Santai, Santai Jualan

Pagi itu, tepat pukul 06.00 wib, udara terasa segar. Matahari baru saja muncul, belum terlalu terik, dan jalan utama sudah dipenuhi orang-orang yang bersiap mengikuti jalan santai. Dari kejauhan terdengar musik riang, suara panitia memberi aba-aba, dan gelak tawa peserta yang saling menyapa.

Semua tampak bersemangat. Ada anak kecil yang menggandeng tangan ibunya, remaja yang sibuk berfoto, sampai kakek-nenek yang tetap ikut melangkah dengan tenang. Jalan santai memang sederhana, tapi selalu membawa suasana meriah.

---

Langkah Kecil, Suasana Besar

Ketika ratusan kaki mulai melangkah bersama, terasa ada energi kebersamaan yang sulit digambarkan. Tidak ada yang terburu-buru, semua berjalan dengan ritme masing-masing. Ada yang serius ingin olahraga, ada yang hanya ikut demi seru-seruan. Tapi satu hal jelas: wajah-wajah ceria mendominasi sepanjang rute.

Di sisi jalan, deretan pedagang sudah siap menyambut. Ada yang menawarkan air mineral dingin, ada yang menjajakan gorengan hangat, ada pula yang menjual aksesoris kecil dengan warna-warni mencolok.

Menariknya, mereka tidak berjualan dengan gaya agresif. Tidak ada teriakan keras atau rebutan pelanggan. Semuanya dilakukan dengan santai. Justru itulah yang membuat suasana terasa hangat: pedagang tersenyum, pembeli pun datang dengan senang hati.

---

Lebih dari Sekadar Jual-Beli

Seorang bapak paruh baya berhenti di depan gerobak es teh. “Pak, satu gelas dingin ya. Wah, segarnya bisa ngalahin hadiahnya nih!” ujarnya sambil tertawa. Penjualnya pun ikut terkekeh. Pembeli dapat minuman, penjual dapat rezeki, keduanya dapat tawa.

Di tempat lain, seorang anak kecil memaksa ayahnya membeli jajan sarapan pagi dan segelas es coklat. Si penjual dengan sabar memberikan hidangan itu ke tangan si kecil, lalu berkata, “Semoga lapar dan Hausmu menjadi Kenyang dan segar ya nak! " Anak itu pun berjalan riang, seolah membawa semangat baru.

Momen-momen sederhana seperti ini memperlihatkan bahwa jalan santai bukan sekadar acara olahraga, melainkan ruang sosial tempat interaksi kecil yang penuh makna terjadi.

---

Filosofi dari “Santai Jualan”

Kalau diperhatikan, ada pelajaran menarik dari para pedagang di acara ini. Mereka berjualan dengan santai, tidak tergesa-gesa, tidak memaksa. Namun justru dengan cara itu, dagangan mereka tetap laris.

Seakan mengajarkan bahwa dalam hidup, kita tidak harus selalu berlari cepat. Kadang, dengan langkah santai tapi konsisten, kita tetap bisa sampai pada tujuan. Sama halnya dengan jalan santai: pelan, ringan, tapi bermanfaat besar bagi tubuh dan jiwa.

---

Kebersamaan yang Menyembuhkan

Di balik semua itu, jalan santai juga menjadi sarana mempererat hubungan sosial. Kita bertemu teman lama yang tak disangka hadir, menyapa tetangga yang mungkin jarang berinteraksi, atau sekadar tersenyum pada orang asing yang berjalan di samping kita.

Kebersamaan inilah yang seringkali lebih berharga daripada hadiah doorprize. Karena setelah acara selesai, yang tersisa bukan hanya tubuh yang lebih segar, tapi juga hati yang lebih hangat.

---


Penutup: Langkah, Rezeki, dan Cerita


Jalan santai, santai jualan” bukan sekadar judul acara. Ia menggambarkan sebuah filosofi: bahwa dalam kesederhanaan, selalu ada kebahagiaan. Langkah-langkah kecil di jalan santai menyehatkan tubuh, sementara jualan santai di sepanjang rute menghidupkan suasana dan membuka rezeki.

Dua hal sederhana, tapi ketika berpadu, menghasilkan cerita indah yang akan dikenang peserta maupun pedagang.

Jadi, jika suatu hari ada acara jalan santai di sekitarmu, ikutlah. Rasakan sendiri bagaimana langkah ringan bisa membawa energi positif, bagaimana pedagang santai bisa mengajarkan arti kesabaran, dan bagaimana kebersamaan bisa jadi hadiah paling berharga.

Karena hidup, pada akhirnya, memang sering terasa lebih indah ketika dijalani dengan santai. 🌿



Jumat, 22 Agustus 2025

Tafsir Tahun Dal

Apa itu Tahun Dal?

Dalam perhitungan kalender Jawa, Tahun Dal muncul tiap 8 tahun sekali.
Dal dianggap sebagai tahun perubahan: pemerintahan bisa bergeser, rakyat diuji, dan alam memberi pertanda.
Bukan tahun sial, tapi tahun “pendidikan batin”—untuk mengingatkan manusia agar rendah hati, waspada, dan tidak berlebihan.

---

Kapan Tahun Dal Terjadi?

Dimulai: 27/28 Juni 2025 (1 Sura 1959 Jawa).

Berakhir: 30 Juni 2026 (sebelum 1 Sura 1960 Jawa).
➡ Jadi, Agustus 2025 sampai Juni 2026 masih dalam Tahun Dal.

---

Apa yang Biasanya Terjadi di Tahun Dal?

1. Perubahan pemerintahan: pergeseran kursi, kebijakan berbalik, atau pembersihan aturan.

2. Rakyat diuji: bisa dengan ekonomi sulit, harga naik, atau kerja berat; tapi justru memunculkan kekuatan baru—lebih hemat, rukun, dan gotong royong.

3. Tanda alam: cuaca tak menentu, bencana, atau perubahan iklim sebagai tanda bumi sedang membersihkan diri.

4. Ujian batin: orang sombong diperingatkan, orang sabar diberi bukti, orang keras hati diuji agar sadar.

---

Hal yang Perlu Dijaga (Pantangan Dal)

-Jangan sombong atau pamer kekuasaan.
-Jangan boros—hindari pesta besar yang tak perlu, lebih baik sedekah.
-Jangan ceroboh mengambil urusan besar tanpa hitung matang (misalnya bangun rumah besar di bulan Sura).
-Jangan abai pada tanda alam.
-Perbanyak tirakat: doa, puasa, semedi, amal baik.

---

Laku (Tirakat) Baik di Tahun Dal 

Slametan sederhana: bubur merah-putih, doa, air bening.

Minta maaf pada orang tua, keluarga, tetangga. 

Sedekah & peduli lingkungan: bantu sesama, tanam pohon, rawat sumber air.

Puasa & semedi: sebulan sekali, atau puasa digital (kurangi gadget).

Bulan Sura: isi dengan belajar sejarah keluarga, membaca pitutur, bukan pesta.

Kamis, 21 Agustus 2025

Samudera Ilmu dalam Kitab Tafsir

Di antara lautan kitab tafsir yang lahir sepanjang sejarah Islam, Tafsir al-Razi atau yang dikenal dengan nama lengkap Mafātīḥ al-Ghayb (“Kunci-kunci Alam Gaib”), menempati posisi yang sangat istimewa. Kitab ini bukan hanya sekadar tafsir Al-Qur’an, melainkan juga ensiklopedia pengetahuan yang mencakup filsafat, ilmu kalam, logika, bahkan sains pada masanya.

Siapa Fakhruddin al-Razi?

Penulis tafsir ini adalah Fakhruddin al-Razi (wafat 606 H/1209 M), seorang ulama besar yang dikenal sebagai teolog, filsuf, dan cendekiawan serba bisa. Ia hidup di era keemasan peradaban Islam, saat diskusi filsafat Yunani, logika Aristoteles, dan pemikiran kalam berkembang pesat di dunia Islam. Tidak heran jika corak pemikirannya begitu kaya dan kompleks.

Ciri Khas Tafsir al-Razi

1. Bukan Sekadar Tafsir Tekstual
Al-Razi tidak hanya menjelaskan makna ayat dari sisi bahasa dan riwayat. Ia sering masuk ke diskusi filosofis, perdebatan kalam, bahkan teori-teori ilmiah. Kadang satu ayat bisa memicu pembahasan panjang tentang kosmologi, psikologi, hingga kedokteran.

2. Dialog dengan Ilmu Pengetahuan
Kitab ini menjadi saksi bagaimana Al-Qur’an dibaca secara dialogis dengan ilmu pengetahuan pada zamannya. Misalnya, ketika membahas ayat tentang langit dan bumi, al-Razi mengaitkannya dengan teori kosmos yang berkembang saat itu.

3. Pendekatan Kalam
Karena latar belakangnya sebagai ulama Asy‘ari, al-Razi banyak membahas persoalan akidah dan perdebatan teologis. Ia mengkritik pandangan Mu‘tazilah, filsuf, maupun kelompok lain, sambil membela posisi Ahlus Sunnah.

4. Gaya Argumentatif
Salah satu ciri khasnya adalah gaya penulisan yang sangat argumentatif. Ia selalu menyajikan berbagai pendapat, lalu menganalisis satu per satu sebelum mengambil kesimpulan. Membaca tafsirnya seperti menyaksikan debat intelektual yang hidup.

Kekuatan dan Kritik

Tafsir al-Razi dipuji karena kedalaman ilmunya dan keluasan cakupannya. Banyak yang menyebutnya sebagai “ensiklopedia keilmuan Islam” ketimbang sekadar tafsir. Namun, sebagian ulama juga mengkritik bahwa pembahasannya sering terlalu panjang, berputar-putar, dan kadang jauh dari inti ayat.

Mengapa Penting Dibaca?

Tafsir al-Razi menunjukkan bahwa Al-Qur’an bisa dibaca dengan berbagai lensa: teologis, filosofis, bahkan saintifik. Ia mengajarkan bahwa iman dan akal tidak perlu dipertentangkan, melainkan bisa saling memperkaya.

Kitab ini memang tidak mudah dipahami, apalagi bagi pembaca awam. Namun, bagi yang ingin menyelami bagaimana ulama klasik berdialog dengan ilmu dan zaman mereka, Mafātīḥ al-Ghayb adalah jendela yang menakjubkan.

Selasa, 19 Agustus 2025

Puisi: "Tafsir Pancasila"

Di bumi Nusantara aku berdiri,
dengan akar sejarah yang takkan terganti.
Pancasila jadi pelita,
menerangi langkah bangsa merdeka.

Ketuhanan yang agung jadi sandaran,
kemanusiaan mengikat persaudaraan.
Persatuan tegak di tengah samudra perbedaan,
demokrasi tumbuh dari musyawarah insan.

Keadilan mengalir ke seluruh penjuru,
membasuh dahaga rakyat yang rindu.
Inilah tafsir sejati,
bahwa Pancasila hidup di hati.

Di bawah bintang kejora aku bertanya,
apa yang membuat bangsa ini tetap bersama?
Ribuan pulau, berjuta wajah,
namun satu jiwa, satu bahasa, itulah
Bhinneka Tunggal Ika. 

Ontologi manusia dijunjung tinggi,
martabatnya suci, tak bisa diganti.
Epistemologi dari tanah sendiri,
tradisi, agama, sejarah bersatu harmoni.

Aksiologi jadi suluh cahaya,
membimbing langkah ke arah cita.
Keadilan, persatuan, kemanusiaan murni,
demokrasi arif, Ketuhanan abadi.

Wahai Pancasila, jiwa Nusantara,
engkau tak hanya dasar, tapi cahaya.
Dalam tafsir hidup dan filsafat bangsa,
kau akan kekal sepanjang masa.

Senin, 18 Agustus 2025

TAFSIR KEMERDEKAAN

Ketika kata merdeka terucap, sering kali yang terbayang adalah teriakan lantang, kibaran bendera, dan kenangan tentang perjuangan bangsa melawan penjajah. Namun jika kita menyelami maknanya lebih jauh, kemerdekaan sejati bukan hanya soal politik atau sejarah, melainkan juga perkara jiwa. Kemerdekaan sejati adalah ketika seseorang mampu berdaulat atas dirinya sendiri, bukan ketika ia merasa bebas karena menaklukkan orang lain.

Merdeka Bukan Sekadar Bebas

Banyak orang keliru memahami kebebasan. Ada yang mengira bebas berarti bisa melakukan apa saja tanpa batas, bahkan sekalipun merugikan orang lain. Padahal, kebebasan yang merampas kebebasan sesama bukanlah kemerdekaan, melainkan penindasan dalam wajah baru.

Kemerdekaan yang hakiki justru hadir saat kita mampu berkata, “Aku memilih jalanku sendiri, tanpa harus menjatuhkan orang lain.”
Ia hadir ketika kita bisa mengendalikan diri, menahan amarah, menolak bujuk rayu hawa nafsu, dan berani bersetia pada nurani.

Seorang filsuf pernah berkata, orang yang tidak bisa menguasai dirinya sendiri sesungguhnya masih hidup dalam penjajahan—penjajahan oleh keinginan, ego, dan ketakutan. Karena itu, merdeka atas diri sendiri adalah bentuk kemerdekaan tertinggi yang dapat dicapai manusia.

Menaklukkan Diri, Bukan Menaklukkan Sesama

Merdeka atas orang lain adalah ilusi. Itu hanyalah kemenangan semu yang menumbuhkan kesenjangan. Kita mungkin bisa memaksa orang lain untuk tunduk, tetapi apakah itu membuat kita benar-benar merdeka? Tidak. Itu justru menjadikan kita budak bagi keangkuhan.

Sebaliknya, merdeka atas diri sendiri menuntun kita pada keheningan batin. Kita tidak lagi hidup demi pengakuan, tidak lagi terikat oleh pandangan orang, dan tidak lagi berlari mengejar validasi yang tak pernah selesai. Kita menjadi merdeka karena kita cukup.

Puisi tentang Kemerdekaan

Merdeka bukan sorak yang riuh,
tapi bisikan lembut di dalam hati.
Merdeka bukan menaklukkan bumi,
tapi menaklukkan diri.

Saat kau mampu berdiri tanpa topeng,
saat kau berani jujur meski sunyi,
saat kau rela berbeda tanpa benci,
di sanalah merdeka sejati.

Kemerdekaan dalam Kehidupan

Kemerdekaan diri tidak harus ditandai dengan peristiwa besar. Ia hadir dalam keseharian:

  • Saat kita berani mengambil keputusan meski tidak populer.

  • Saat kita tetap tenang di tengah cercaan.

  • Saat kita ikhlas menerima kegagalan sebagai guru.

  • Saat kita menghargai kebebasan orang lain seperti kita menjaga kebebasan sendiri.

Inilah bentuk kemerdekaan yang lebih halus, lebih sunyi, namun lebih nyata.

Penutup: Perjuangan yang Tak Pernah Usai

Merdeka atas diri sendiri bukan pencapaian sekali jadi, melainkan perjalanan panjang. Setiap hari kita diuji: apakah kita menjadi tuan bagi diri, atau justru hamba dari ego dan nafsu?

Bangsa yang besar hanya bisa lahir dari individu-individu yang merdeka atas dirinya. Maka, tugas kita hari ini adalah menjaga api kemerdekaan itu tetap menyala—bukan hanya di monumen atau upacara, melainkan di dalam jiwa.

Karena sejatinya, merdeka bukan berarti bebas dari segala hal, tetapi mampu mengikat diri pada kebenaran, lalu menghormati kebebasan sesama.

Minggu, 10 Agustus 2025

Bapak Tafsir Al-Quran Klasik; AT-THABARIY

Pendahuluan

Di antara para ulama besar dalam sejarah Islam, nama Abū Ja‘far Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī (838–923 M) menempati posisi istimewa. Ia dikenal sebagai salah satu mufassir, sejarawan, dan ahli fikih terbesar sepanjang masa. Karyanya yang monumental, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, sering disebut sebagai tafsir paling berpengaruh di era klasik[^1].

Kehidupan Awal

Al-Ṭabarī lahir pada tahun 224 H (838 M) di Ṭabaristān, wilayah Persia (kini Iran)[^2]. Sejak kecil, ia menunjukkan kecerdasan luar biasa. Pada usia tujuh tahun, ia sudah hafal Al-Qur’an; usia delapan tahun mulai menghafal hadis, dan di usia sembilan, ia sudah mengimami salat di kampungnya[^3].

Kecintaannya pada ilmu membawanya mengembara ke berbagai kota pusat peradaban Islam: Baghdad, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, dan Makkah. Di setiap tempat, ia belajar pada ulama besar, menyerap berbagai aliran pemikiran[^4].

Metode Tafsir

Al-Ṭabarī mengembangkan tafsir bi al-ma’tsūr, yaitu penafsiran Al-Qur’an berdasarkan riwayat sahabat, tabi‘in, dan hadis Nabi[^5]. Karakteristik tafsirnya meliputi:

1. Penggunaan sanad — Ia mencantumkan sumber riwayat dengan lengkap[^6].
2. Analisis bahasa Arab klasik — Menjelaskan makna kata dengan rujukan pada syair Arab[^7].
3. Penyajian pendapat berbeda — Menampilkan beberapa pendapat ulama, lalu memilih yang paling kuat menurutnya[^8].
4. Konteks sejarah (asbāb al-nuzūl) — Mengaitkan ayat dengan peristiwa turunnya[^9].

Karya-Karya

Tafsir al-Ṭabarī (Jāmi‘ al-Bayān) — 30 jilid, menjadi rujukan tafsir klasik utama[^10].
Tārīkh al-Rusul wa al-Mulūk — Sejarah Nabi, para khalifah, dan kerajaan-kerajaan hingga abad ke-10 M[^11].
Kitab fikih mazhab al-Ṭabarī sendiri, meskipun mazhab ini tidak bertahan lama[^12].

Pengaruh dan Warisan

Tafsir al-Ṭabarī bukan hanya menjadi sumber tafsir, tapi juga rujukan penting dalam studi sejarah bahasa, hadis, dan sejarah Islam[^13]. Ulama setelahnya seperti Ibn Katsīr dan Al-Qurṭubī banyak mengutipnya[^14].

Ia wafat di Baghdad pada tahun 310 H (923 M) dalam keadaan dihormati, meski sempat menghadapi perbedaan pendapat teologis dengan sebagian kelompok[^15]. Namanya tetap harum sebagai "Imām al-Mufassirīn" (pemimpin para ahli tafsir)[^16].


---

Catatan Kaki

[^1]: Al-Dhahabi, Tadhkirat al-Huffaz, Jilid 2, hlm. 713.
[^2]: Ibn Khallikan, Wafayat al-A‘yan, Jilid 4, hlm. 191.
[^3]: Al-Suyuthi, Tabaqat al-Mufassirin, hlm. 103.
[^4]: Rosenthal, Franz, History of al-Tabari, Vol. 1, SUNY Press, 1989.
[^5]: Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid 2, hlm. 159.
[^6]: Ibid.
[^7]: Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Jilid 2, hlm. 482.
[^8]: Ibn Taymiyyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, hlm. 31.
[^9]: Ibid.
[^10]: Al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1, hlm. 103.
[^11]: Rosenthal, Franz, The History of al-Tabari, Vol. 39, SUNY Press, 1999.
[^12]: Al-Subki, Tabaqat al-Shafi‘iyyah al-Kubra, Jilid 3, hlm. 146.
[^13]: Al-Dhahabi, Siyar A‘lam al-Nubala, Jilid 14, hlm. 270.
[^14]: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Mukadimah.
[^15]: Al-Suyuthi, Husn al-Muhadarah, Jilid 1, hlm. 275.
[^16]: Al-Dhahabi, Tadhkirat al-Huffaz, Jilid 2, hlm. 713.

Sabtu, 09 Agustus 2025

Tafsir Al-Qur’an adalah Anak Zaman

Pendahuluan

Pernyataan "tafsir Al-Qur’an adalah anak zaman" menggambarkan kenyataan bahwa setiap karya tafsir lahir dari konteks sosial, politik, budaya, dan intelektual tertentu. Dengan kata lain, meskipun Al-Qur’an bersifat universal dan abadi, penafsiran manusia terhadapnya sangat dipengaruhi oleh kondisi zaman yang melingkupinya[^1].

Hakikat Tafsir sebagai Anak Zaman

Tafsir tidak lahir di ruang hampa. Setiap mufasir membawa latar belakang pengetahuan, ideologi, dan problematika zamannya ke dalam penafsiran[^2]. Oleh karena itu, penafsiran ulama pada abad ke-3 H tentu berbeda dengan penafsiran ulama pada abad ke-15 H, meskipun sama-sama merujuk pada teks yang sama. Misalnya, tafsir klasik seperti Jāmi‘ al-Bayān karya al-Ṭabarī banyak dipengaruhi metode riwayat dan bahasa Arab murni, sementara tafsir modern seperti al-Manār karya Rasyid Ridha lebih kental dengan semangat reformasi sosial[^3].

Faktor Zaman dalam Penafsiran

Ada beberapa faktor yang membuat tafsir bersifat kontekstual[^4]:

1. Kondisi Sosial dan Politik – Penafsiran sering digunakan untuk menjawab problem masyarakat pada masanya, seperti kolonialisme, kemiskinan, atau ketidakadilan.


2. Perkembangan Ilmu Pengetahuan – Munculnya temuan sains modern memengaruhi penafsiran ayat-ayat kauniyah.


3. Perubahan Nilai dan Budaya – Pergeseran pandangan tentang hak asasi manusia, gender, dan pluralisme memicu lahirnya tafsir-tematik baru.

Konsekuensi dari Sifat Kontekstual Tafsir

Kesadaran bahwa tafsir adalah anak zaman memiliki dua konsekuensi utama:

Penghormatan terhadap Keragaman Tafsir – Tidak semua perbedaan tafsir adalah kontradiksi, melainkan bentuk adaptasi terhadap zaman.

Kebutuhan Tafsir Kontemporer – Masyarakat modern memerlukan tafsir yang mampu menjawab tantangan global, teknologi, dan etika baru[^5].


Penutup

Tafsir Al-Qur’an sebagai anak zaman menunjukkan bahwa pemahaman manusia terhadap wahyu selalu bergerak dan berkembang. Tugas generasi kini bukan hanya mewarisi tafsir terdahulu, tetapi juga menggali makna Al-Qur’an dalam kerangka zaman ini, tanpa kehilangan ruh dan prinsip dasarnya[^6].


---

Catatan Kaki:
[^1]: Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hlm. 6.
[^2]: Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), hlm. 45.
[^3]: Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manār, Juz I (Kairo: al-Manār, 1900), hlm. 25-26.
[^4]: M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 57.
[^5]: Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 112.
[^6]: Amin Abdullah, Islam dan Perubahan Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 89.

Jumat, 08 Agustus 2025

Menyelami Kedalaman Tafsir Al-Qur’an: Antara Teks dan Makna

Bagi umat Islam, Al-Qur’an bukan sekadar kitab suci. Ia adalah petunjuk hidup, sumber hukum, dan pancaran cahaya spiritual. Namun, memahami Al-Qur’an bukanlah perkara mudah. Bahasa yang digunakan—Arab klasik dengan kekayaan makna yang luas—sering kali menuntut lebih dari sekadar pemahaman literal. Di sinilah peran tafsir Al-Qur’an menjadi begitu penting. Tafsir berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara teks ilahi dan realitas manusia yang senantiasa berubah.

Apa Itu Tafsir?

Secara etimologis, kata tafsir berasal dari bahasa Arab فَسَّرَ - يُفَسِّرُ - تَفْسِيرًا, yang berarti menjelaskan atau mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi¹. Dalam konteks Al-Qur’an, tafsir berarti usaha ilmiah untuk memahami makna ayat-ayat Allah, baik dari aspek linguistik, historis, hukum, hingga sosial dan spiritual.

Tujuan utama dari tafsir bukan sekadar menerjemahkan kata demi kata, melainkan menyelami maksud Allah SWT dalam menyampaikan firman-Nya. Hal ini penting karena banyak ayat dalam Al-Qur’an yang memiliki makna kontekstual, simbolik, bahkan multitafsir.

Mengapa Tafsir Dibutuhkan?

Seiring berjalannya waktu, peradaban manusia berkembang, dan tantangan baru pun bermunculan. Oleh sebab itu, tafsir menjadi instrumen penting untuk menjaga agar pemahaman terhadap Al-Qur’an tetap relevan. Umat Islam di masa Rasulullah SAW bisa langsung bertanya kepada beliau mengenai maksud suatu ayat. Namun setelah wafatnya Nabi, generasi berikutnya memerlukan penjelasan dari para sahabat, tabi’in, dan para ulama².

Dengan adanya tafsir, umat Islam tidak hanya memahami bunyi bacaan Al-Qur’an, tetapi juga menangkap pesan moral, hukum, dan spiritual yang terkandung di dalamnya. Misalnya, ketika Al-Qur’an menyebutkan perintah iqra’ (bacalah), para mufassir menafsirkan bahwa ini bukan hanya membaca teks, tetapi juga membaca kehidupan, alam, dan pengetahuan³.

Macam-Macam Tafsir

Dalam perkembangannya, tafsir Al-Qur’an memiliki beragam pendekatan, di antaranya:

  1. Tafsir bil Ma’tsur – Tafsir berdasarkan riwayat, seperti perkataan Rasulullah, para sahabat, dan tabi’in. Contohnya adalah Tafsir Ibnu Katsir, yang hingga kini menjadi rujukan utama⁴.

  2. Tafsir bil Ra’yi – Tafsir dengan pendekatan rasional, berdasarkan ijtihad ulama dan penalaran logis. Tafsir ini sah dilakukan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam⁵.

  3. Tafsir Ilmi – Tafsir yang mengaitkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan temuan ilmiah. Pendekatan ini banyak digunakan oleh mufassir modern yang ingin menunjukkan keselarasan antara wahyu dan ilmu pengetahuan⁶.

  4. Tafsir Isyari – Penafsiran batiniah yang lebih bersifat spiritual, sering digunakan oleh kalangan sufi. Namun, pendekatan ini perlu kehati-hatian agar tidak menyimpang dari makna zahir ayat⁷.

Metode Penafsiran: Dari Ayat ke Tema

Tafsir Al-Qur’an tidak hanya dibedakan dari pendekatannya, tetapi juga dari metode yang digunakan:

  • Tahlili: Menafsirkan ayat secara urut dan rinci, membahas dari segi bahasa, sejarah, hingga hukum.

  • Ijmali: Menyampaikan makna ayat secara umum, tanpa penjabaran detail.

  • Muqaran: Membandingkan antar ayat atau antar pendapat ulama.

  • Maudhui: Menganalisis ayat-ayat yang berkaitan dengan satu tema tertentu, misalnya tentang keadilan atau kasih sayang Tuhan⁸.

Metode tafsir tematik (maudhui) kini banyak digunakan dalam kajian kontemporer karena dianggap mampu menjawab isu-isu spesifik dalam masyarakat modern, seperti keadilan gender, hak asasi manusia, atau lingkungan.

Tafsir dan Dinamika Zaman

Salah satu kekuatan tafsir adalah kemampuannya untuk hidup bersama zaman. Tafsir bukanlah produk sekali jadi. Ia terus berkembang, mencerminkan dialog antara teks wahyu dan realitas kehidupan. Dalam sejarah Islam, kita melihat bagaimana para ulama seperti Al-Tabari, Al-Razi, dan Al-Qurtubi menghasilkan karya-karya tafsir yang tidak hanya ilmiah, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai kontekstual pada zamannya⁹.

Kini, tantangan umat Islam bukan hanya memahami ayat secara linguistik, tetapi juga menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi dalam membangun peradaban yang adil, moderat, dan inklusif.


Penutup

Tafsir Al-Qur’an bukan sekadar upaya intelektual, tetapi juga merupakan bentuk ibadah. Melalui tafsir, manusia berusaha menangkap maksud Tuhan yang tak terbatas melalui bahasa manusia yang terbatas. Karena itu, membaca tafsir bukan hanya membaca makna ayat, tetapi juga menyelami kebijaksanaan Ilahi yang tak habis digali.


Catatan Kaki:

  1. Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid 2, hlm. 5.

  2. Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, hlm. 210.

  3. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, 1999.

  4. Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Dar al-Fikr.

  5. Al-Razi, Tafsir al-Kabir, Vol. 1, hlm. 18.

  6. Zaghlul an-Najjar, Tafsir Ilmi Al-Qur’an, Dar al-Shuruq.

  7. Imam Al-Qusyairi, Lataif al-Isyarat, edisi cetak Kairo.

  8. M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Mizan, 2000.

  9. Al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, edisi Beirut.

Kamis, 07 Agustus 2025

7 Trik membuat pertanyaan ala Filsuf

“Pertanyaan bisa lebih menampar daripada jawaban. Itulah kenapa para filsuf lebih suka bertanya.”

Dalam riset filsafat klasik, pertanyaan bukan jawaban justru dianggap sebagai alat utama untuk menemukan kebenaran. Socrates tidak menulis satu buku pun, tapi ia mengubah dunia dengan satu metode: bertanya terus menerus. Pertanyaan yang baik bisa menyingkap kepalsuan, membongkar kepura-puraan, bahkan memaksa kita memikirkan ulang seluruh cara hidup kita.

Seorang teman bilang dia stres karena kerjaannya. Kamu tanya, “Kamu stres karena kerjaannya berat, atau karena kamu nggak merasa dihargai?”
Tiba-tiba dia diam. Terpaku. Lalu berkata, “Gue sendiri gak tahu…”

Itu bukan sekadar pertanyaan iseng. Itu pertanyaan filosofis. Dan itu membuat orang mikir. Di dunia yang serba cepat dan penuh kesimpulan instan, pertanyaan yang tepat adalah bentuk revolusi.

Sayangnya, kebanyakan orang bertanya bukan untuk memahami, tapi untuk menilai. Ingin tahu alasannya? Karena mereka tidak dilatih berpikir dengan keingintahuan, melainkan dengan asumsi. Maka dalam tulisan ini, kita akan belajar dari para filsuf: bagaimana cara bertanya yang benar-benar bikin orang berhenti, berpikir, dan kalau perlu meragukan segalanya.

Berikut ini tujuh trik bertanya ala filsuf, yang bisa kamu gunakan untuk obrolan sehari-hari atau debat publik, supaya orang mikir dua kali sebelum asal jawab.

1. Tanyakan definisi, bukan pendapat
Dalam Think, Simon Blackburn menyarankan: sebelum kamu menyanggah argumen orang, minta dia mendefinisikan dulu istilah yang dia pakai. Saat seseorang bilang “keadilan”, tanyakan: “Menurutmu, apa itu adil?” Orang sering pakai kata-kata besar tanpa tahu maknanya. Dan saat mereka mencoba mendefinisikan, sering terlihat betapa rapuhnya keyakinan mereka.

2. Lempar balik dengan pertanyaan sejenis
Ward Farnsworth dalam The Socratic Method menyarankan untuk “membalas” argumen dengan argumen serupa yang menguji konsistensinya. Misal, jika seseorang berkata, “Hukum itu harus ditaati karena sudah dibuat negara,” kamu bisa tanya, “Kalau begitu, saat apartheid disahkan jadi hukum di Afrika Selatan, apakah itu juga harus ditaati?” Pertanyaan ini tidak menjawab langsung, tapi membuat orang melihat kejanggalan prinsip yang mereka pegang.

3. Pakai analogi yang menggelitik logika
Jostein Gaarder dalam Sophie’s World mengajarkan kekuatan analogi: bandingkan sesuatu dengan hal yang absurd atau lucu untuk mengekspos ketidakkonsistenan. Misal: “Kalau semua orang harus berpikir sama supaya damai, bukankah itu kayak bilang ‘biar rumah adem, kita bakar AC-nya’?”

4. Gali asumsi tersembunyi
Kebanyakan orang bicara berdasarkan asumsi yang tak disadari. Filsuf akan bertanya, “Apa yang kamu anggap benar diam-diam tanpa kamu ucapkan?” Misalnya: saat seseorang bilang “Orang sukses itu kerja keras,” kamu bisa tanya, “Jadi kamu anggap semua yang tidak sukses itu malas?”

5. Pakai pertanyaan reflektif, bukan retoris
Pertanyaan reflektif bukan buat membantai, tapi buat mengajak orang menoleh ke dalam. Misalnya: “Apa kamu bener-bener percaya itu karena kamu udah mikir panjang, atau karena semua orang di sekitarmu juga percaya itu?” Pertanyaan ini bukan hanya bikin mikir, tapi bikin orang berkonflik dengan dirinya sendiri. Itulah momen pencerahan dimulai.

6. Diam setelah bertanya
Teknik ini tak tertulis di buku, tapi para filsuf tahu betapa pentingnya diam setelah bertanya. Socrates dikenal bukan karena kata-katanya, tapi karena dia bisa duduk diam menunggu orang lain jatuh ke dalam lubang pikirannya sendiri. Jangan buru-buru kasih petunjuk. Biarkan keheningan bekerja.

7. Tantang dengan kemungkinan ekstrem
Blackburn menyebutnya sebagai reductio ad absurdum. Uji klaim orang dengan memperluas logikanya ke titik paling ekstrim. Contoh: jika seseorang berkata “Kita tidak boleh menyinggung perasaan siapa pun,” kamu bisa bertanya, “Berarti kalau seseorang tersinggung karena kamu berbeda keyakinan, kamu harus mengubah kepercayaanmu?”

Di tengah zaman yang suka debat tapi alergi berpikir, teknik-teknik bertanya ini bisa jadi senjata intelektual paling ampuh. Bukan untuk menang. Tapi untuk bikin orang sadar bahwa banyak dari yang mereka yakini itu belum tentu milik mereka sendiri.

Sudah siap membuat obrolanmu bukan sekadar tukar kata, tapi tukar kesadaran? Coba pakai salah satu teknik ini dalam percakapan hari ini. Lalu ceritakan hasilnya di kolom komentar. Dan kalau artikel ini membuka cara pandangmu, bantu sebarkan ke orang yang pikirannya masih bisa diajak main lebih dalam.