Halaman

Kamis, 25 September 2025

Manusia Itu Ibarat Tambang Emas dan Perak

Suatu ketika Rasulullah ﷺ bersabda:

Manusia itu laksana tambang, seperti tambang emas dan perak.”

(HR. Muslim)


Bayangkan sebuah tambang. Dari luar, yang tampak hanyalah tanah, batu, atau debu. Tidak ada yang istimewa. Tapi siapa sangka, di balik gundukan tanah itu tersimpan emas atau perak yang nilainya tak ternilai. Untuk mendapatkannya, orang harus menggali dalam-dalam, dengan sabar, penuh kerja keras.

Begitu pula manusia.

Kadang kita melihat seseorang hanya dari luarnya: penampilan, latar belakang, atau masa lalunya. Kita menilai cepat, bahkan meremehkan. Padahal, bisa jadi dalam dirinya tersimpan potensi luar biasa yang belum muncul ke permukaan.

---


Kisah Umar bin Khattab: Dari Keras Menjadi Tegas


Kita bisa belajar dari kisah Umar bin Khattab r.a. Sebelum masuk Islam, Umar dikenal keras, bahkan pernah berniat membunuh Nabi ﷺ. Kalau kita menilai Umar hanya dari sisi itu, mungkin kita akan berkata: “Tidak ada harapan untuknya.”

Namun ketika hidayah Allah menyapa hatinya, sifat keras itu berubah menjadi ketegasan yang menegakkan kebenaran. Potensi besar Umar yang dulu tersembunyi akhirnya tergali. Dari seorang yang ditakuti karena kebengisannya, Umar berubah menjadi pemimpin adil yang membuat setan pun gentar lewat jalannya.

Ini bukti bahwa setiap manusia memang seperti tambang. Ada yang masih tertutup tanah, ada yang sudah terlihat kilaunya, dan ada pula yang sedang digali.

---


Kita Semua Punya Emas


Hadits ini juga mengingatkan bahwa tidak semua manusia sama, tapi semua berharga. Ada yang bakatnya seperti emas: berkilau, mencolok, mudah terlihat. Ada pula yang seperti perak: mungkin lebih sederhana, tapi tetap bernilai.

Ada yang kuat dalam ilmu, ada yang menonjol dalam amal, ada yang sederhana namun penuh ketulusan. Setiap orang membawa warna dan perannya masing-masing dalam kehidupan.

---


Refleksi Kecil Penulis


Saat penulis merenungkan hadits ini, hati bergetar. Betapa sering kita menilai orang lain dari tampilan luarnya, lalu terburu-buru melabeli: “Dia tidak bisa apa-apa”, “Dia biasa saja”, atau bahkan “Dia tidak ada harapan.”

Padahal, siapa tahu Allah sedang menyimpan “emas” dalam dirinya, menunggu waktu untuk muncul.

Dan jujur, terkadang penulis juga merasa kecil. Ada rasa minder, seolah diri ini tidak punya apa-apa dibanding orang lain. Tapi hadits ini seperti bisikan lembut dari Nabi ﷺ: “Dalam dirimu ada tambang berharga. Gali, asah, dan gunakanlah untuk kebaikan.”


---


Menjadi Tambang yang Bermanfaat


Akhirnya, hadits ini bukan hanya ajakan untuk menghargai orang lain, tapi juga untuk tidak meremehkan diri sendiri. Kita semua punya potensi, hanya saja berbeda bentuk dan nilainya. Yang penting adalah bagaimana kita menggali, menjaga, dan mengarahkannya ke jalan yang benar.


Karena emas dan perak baru bernilai ketika ia dimanfaatkan, begitu pula potensi manusia: ia berharga ketika digunakan untuk memberi manfaat bagi orang lain.


Doa Penutup

Sebagai penutup renungan ini, marilah kita hadiahkan shalawat kepada junjungan kita, Nabi Muhammad ﷺ.

Salah satu shalawat yang telah di Ijazahkan oleh K.H AN'IM Falahuddin Mahrus dalam acara Studium General. Dalam hal ini, penulis akan berusaha mengamalkan apa yang telah di Ijazahkan oleh beliau. 


Lafaz Shalawat Fatih

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ، وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ، وَالنَّاصِرِ الْحَقَّ بِالْحَقِّ، وَالْهَادِي إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيمِ، وَعَلَى آلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيمِ.


Terjemahannya;

“Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad ﷺ, yang membuka apa yang terkunci, yang menutup apa yang telah lalu, yang membela kebenaran dengan kebenaran, dan yang menunjukkan kepada jalan-Mu yang lurus. Semoga rahmat itu juga tercurah kepada keluarga beliau, dengan hak kedudukan dan kemuliaan beliau yang agung.”

---



✨ Semoga dengan shalawat ini Allah membuka potensi terbaik dalam diri kita, mengarahkannya untuk kebaikan, dan menjadikannya cahaya yang bermanfaat bagi sesama.


Minggu, 21 September 2025

Nek Ora Sehat, Ora Bermanfaat

Sehat Itu Modal untuk Beribadah

Orang Jawa sering bilang: “Nek ora sehat, ora bermanfaat.” Artinya, kalau tubuh kita tidak sehat, maka sulit untuk berbuat kebaikan bagi orang lain. Sehat bukan cuma soal badan yang kuat, tapi juga hati yang tenang dan pikiran yang jernih.


Dalam Islam, menjaga kesehatan adalah bagian dari ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah." (HR. Muslim).


Sehat itu bukan sekadar bonus hidup, tapi modal utama untuk menjalankan amanah sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.


Allah juga mengingatkan:

"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan." (QS. Al-Baqarah: 195).


Ayat ini jadi dasar bahwa menjaga kesehatan adalah kewajiban agar kita tetap bisa beribadah dan memberi manfaat.


Ilmu, Agama, dan Kesehatan

Bayangkan kalau kita punya ilmu, punya semangat untuk berdakwah, tapi badan kita lemah karena lalai menjaga kesehatan. Dakwah bisa terhambat, ilmu tidak tersampaikan, bahkan ibadah pun jadi berat.

Itulah sebabnya ilmu, agama, dan kesehatan harus berjalan bersama. Ilmu memberi arah, agama memberi nilai, sementara kesehatan memberi energi untuk mewujudkannya.


Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat." (HR. Bukhari).


Dan Allah berfirman:

"Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS. An-Nahl: 125).

Sebagaimana nasihat yang di sampaikan oleh Kyai dari "kota Tahu" bahwa ;

 نشر العلم و الدين لإعلاء كلمات الله

Dari sini jelas bahwa menyebarkan ilmu dan agama, meski sedikit, adalah bagian dari meninggikan kalimat Allah.


Kisah Guru Ngaji

Ada seorang guru ngaji di kampung kecil. Beliau rajin mengajar anak-anak setiap sore di serambi rumahnya. Tapi suatu waktu, beliau jatuh sakit karena terlalu memaksakan diri, padahal usianya sudah lanjut. Akhirnya, pengajian terpaksa berhenti sementara.

Anak-anak merasa kehilangan, karena ilmu yang biasanya mereka dapatkan terhenti. Dari situ, kita bisa belajar: kesehatan guru itu bukan hanya urusan pribadi, tapi juga menentukan keberlangsungan ilmu dan manfaat bagi orang lain.


Cara Menjaga Sehat Supaya Bisa Bermanfaat


Menjaga kesehatan tidak harus rumit. Mulai dari hal-hal kecil:

Tidur cukup dan jangan begadang tanpa alasan penting.

Makan yang halal dan baik, tidak berlebihan.

Olahraga ringan secara rutin.

Jaga hati dan pikiran, karena stres juga bikin tubuh lemah.


Dengan tubuh yang sehat, kita bisa lebih semangat belajar, mengajar, bekerja, dan berdakwah.


Refleksi Penulis

Menulis tema ini membuat saya merenung. Saya sering sibuk mengejar ilmu, berkegiatan, atau menulis, tapi kadang lupa menjaga badan sendiri. Padahal, kalau saya sakit, tulisan terhenti, dakwah terhenti, dan manfaat pun ikut berhenti.

Saya jadi sadar, menjaga kesehatan itu bukan egois. Justru dengan menjaga diri, saya bisa terus berbagi. Semoga Allah memberi kita kekuatan agar sehat lahir batin, sehingga setiap langkah kita bisa bernilai manfaat.


Penutup

Nek ora sehat, ora bermanfaat. Ungkapan sederhana ini ternyata menyimpan makna besar. Sehat bukan tujuan akhir, tapi jalan agar kita bisa lebih banyak berbuat baik, menyebarkan ilmu, dan menegakkan kalimat Allah.


Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barang siapa menunjukkan jalan kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang mengerjakannya." (HR. Muslim).

Dan Allah menegaskan:

"Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat." (QS. Al-Mujadilah: 11).


Artinya, menyebarkan ilmu dan agama itu sama dengan membuka jalan hidayah bagi orang lain, sekaligus meninggikan kalimat Allah. Dan untuk bisa konsisten melakukannya, kita butuh tubuh yang sehat serta hati yang kuat.

Sabtu, 13 September 2025

Wohing Pakarti: Menanam Perbuatan, Menuai Kehidupan

Pengantar

Orang Jawa punya banyak pitutur luhur yang tidak lekang dimakan zaman. Salah satunya adalah falsafah wohing pakarti. Meski terdengar sederhana, ungkapan ini menyimpan nasihat mendalam: bahwa hidup kita sesungguhnya adalah hasil dari apa yang kita lakukan. Menariknya, falsafah ini sejalan dengan pesan-pesan Al-Qur’an yang juga menekankan pentingnya tanggung jawab manusia atas setiap amal perbuatannya.

Makna Wohing Pakarti

Secara harfiah, wohing berarti buah atau hasil, sementara pakarti berarti perbuatan atau perilaku. Jadi, wohing pakarti bisa dipahami sebagai “buah dari perbuatan.” Falsafah ini mengajarkan bahwa tidak ada tindakan manusia yang sia-sia. Apa pun yang kita lakukan akan kembali kepada kita, entah dalam bentuk kebaikan atau keburukan.

Orang Jawa dulu sering menasehatkan,sing becik ketitik, sing olo ketara — yang baik akan tampak, yang buruk akan terlihat. Ini sejalan dengan prinsip bahwa pada akhirnya, semua perilaku akan memperlihatkan hasilnya.


Dalam Cahaya Al-Qur’an

Al-Qur’an memberikan penguatan bahwa setiap amal manusia akan mendapat balasan yang setimpal.

Balasan sekecil apapun perbuatan:

“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az-Zalzalah [99]: 7-8)

Kebaikan kembali pada pelakunya:

“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri, dan barang siapa berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri. Dan Tuhanmu tidak pernah menzalimi hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushshilat [41]: 46)

Ayat-ayat ini seakan menjadi penjelasan langsung atas makna wohing pakarti. Apa yang kita tanam dalam hidup, itulah yang akan kita tuai.


Sebuah Kisah

Ada seorang pedagang kecil di pasar tradisional. Ia dikenal jujur, meski barang dagangannya sederhana. Kadang ia memberi sedikit tambahan untuk pembeli, sambil berkata, Mugi Barokah.” Orang-orang pun merasa nyaman dan percaya padanya.

Beberapa tahun kemudian, usahanya berkembang. Banyak orang merekomendasikan dagangannya, bukan karena iklan atau promosi, melainkan karena ketulusan dan kejujurannya. Inilah buah nyata dari wohing pakarti: kejujuran kecil yang ditanam setiap hari berbuah menjadi keberkahan yang besar.

Sebaliknya, kita juga sering melihat contoh sebaliknya—orang yang terbiasa curang atau menipu. Mungkin awalnya tampak untung, tetapi lambat laun akan kehilangan kepercayaan, bahkan merusak hidupnya sendiri.


Filosofi Hidup

Falsafah wohing pakarti mengandung pesan filosofis yang relevan sepanjang zaman:

1. Hidup adalah tanggung jawab pribadi. Tidak ada yang bisa lari dari akibat perbuatannya sendiri.

2. Perilaku kecil pun punya dampak. Senyum tulus, kata-kata baik, atau sebaliknya—ucapan kasar—semua akan kembali kepada kita.

3. Keadilan Tuhan bersifat sempurna. Allah tidak pernah menzalimi, manusia sendirilah yang menentukan jalannya dengan amalnya.

Dengan menyadari hal ini, kita diajak untuk hidup lebih waspada, bijak, dan penuh pertimbangan.


Relevansi untuk Masa Kini

Di era modern yang serba cepat, banyak orang ingin hasil instan. Padahal falsafah wohing pakarti mengingatkan: proses dan perilaku menentukan hasil.

Kejujuran di tempat kerja akan berbuah kepercayaan.

Kedisiplinan dalam belajar akan menghasilkan prestasi.

Sebaliknya, kelalaian akan berbuah penyesalan.

Jika setiap orang sadar bahwa semua tindakannya akan kembali pada dirinya, tentu ia akan lebih berhati-hati dalam bersikap, lebih menghargai orang lain, dan lebih menjaga harmoni bersama.


Refleksi Penulis

Saat menuliskan artikel ini, saya teringat pada diri sendiri: seringkali kita menginginkan hasil besar tanpa sadar bahwa yang paling menentukan justru hal-hal kecil yang kita lakukan setiap hari. Ucapan yang santun, sikap yang tulus, atau kebiasaan disiplin—itulah benih-benih yang kelak menjadi “buah kehidupan.”

Saya pun merenung, jangan-jangan banyak masalah dalam hidup ini adalah wohing pakarti dari kesalahan atau kelalaian kita di masa lalu. Sebaliknya, kebaikan yang datang kepada kita juga mungkin adalah buah dari amal-amal kecil yang pernah kita tanam.

Falsafah Jawa dan pesan Al-Qur’an sama-sama mengingatkan: kita tidak bisa mengelak dari tanggung jawab. Maka yang bisa kita lakukan hanyalah terus menanam kebaikan, sambil berharap Allah menumbuhkan dan memberkahi buahnya.


Penutup

Wohing pakarti bukan sekadar pepatah Jawa kuno, melainkan kearifan yang hidup dan terus relevan. Ia mengajarkan bahwa kita adalah penanam sekaligus pemetik dari kebun kehidupan kita sendiri. Al-Qur’an pun menegaskan hal yang sama: tidak ada amal yang hilang, semua akan kembali kepada pelakunya.

Dengan menghayati falsafah ini, kita bisa menjalani hidup dengan lebih sadar, bijak, dan selaras dengan kehendak Ilahi. Karena pada akhirnya, hidup adalah tentang apa yang kita tanam—dan apa yang kita tuai.


---


Kutipan Tembang Jawa

Ngelmu iku kalakone kanthi laku,

lekase lawan kas, tegese kas nyantosani,

setya budya pangekese dur angkara.”

(Serat Wedhatama, Pupuh Pangkur)

Terjemahan bebas (bahasa Indonesia):

Ilmu itu dapat terlaksana dengan perbuatan,

dimulai dengan tekad kuat yang menguatkan hati,

dan kesungguhan budi yang mampu menundukkan sifat angkara.

Kutipan ini sejalan dengan falsafah wohing pakarti: ilmu, niat, dan kebaikan baru berbuah jika diwujudkan dalam tindakan nyata.


Jumat, 12 September 2025

Tafsir Demo: Antara Suara Rakyat, Ayat, dan Renungan Diri

Demo atau demonstrasi sering dipahami hanya sebagai kerumunan massa yang memenuhi jalanan, mengangkat poster, dan berteriak lantang. Namun, jika direnungkan lebih dalam, demo adalah sebuah teks sosial yang sarat makna. Ia adalah bahasa rakyat ketika saluran formal tak lagi mampu menampung aspirasi. Ia juga merupakan cermin relasi antara rakyat dan penguasa, bahkan—jika kita mau jujur—cermin diri kita sendiri.


Demo sebagai Suara Kebenaran

Al-Qur’an menegaskan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar:


> “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)


Dalam konteks sosial-politik hari ini, demo bisa dibaca sebagai bentuk nyata dari ayat ini. Ia adalah panggilan kolektif rakyat untuk mengingatkan penguasa, menolak kezaliman, atau menuntut keadilan. Setiap spanduk, orasi, bahkan lokasi yang dipilih, adalah simbol yang berbicara lebih keras daripada kata-kata di meja birokrasi.


Namun, demo juga bukan tanpa risiko. Di sinilah kita diingatkan:


> “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya...” (QS. Al-A’raf: 56)


Demo yang damai adalah bagian dari upaya menegakkan kebenaran, tetapi ketika berubah menjadi anarki, maknanya bisa terdistorsi.


Demo di Era Digital

Seiring perkembangan teknologi, demo kini tidak hanya berlangsung di jalan raya, melainkan juga di ruang virtual. Gerakan #ReformasiDikorupsi, Black Lives Matter, hingga aksi-aksi iklim global menunjukkan bagaimana media sosial menjadi ruang mobilisasi.


Namun, di balik itu, lahir juga fenomena “aktivisme instan”: sekadar membagikan unggahan tanpa benar-benar terlibat dalam perjuangan nyata. Di sinilah relevan firman Allah:


> “Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Saff: 2-3)


Ayat ini menegur saya secara pribadi: sudahkah saya benar-benar terlibat, atau hanya menjadi pengamat pasif?


Demo, Krisis Kepercayaan, dan Politik

Di Indonesia, demo biasanya muncul saat ada krisis kepercayaan terhadap negara: pengesahan undang-undang kontroversial, ketidakadilan hukum, atau beban ekonomi rakyat. Demo adalah alarm sosial—tanda bahwa komunikasi antara rakyat dan pemerintah sedang tidak sehat.


Namun, kita juga tahu, demo sering dibajak kepentingan politik. Isu yang lahir dari kegelisahan rakyat kadang dipolitisasi, sehingga substansi aspirasi tereduksi. Dalam hal ini, ayat Allah mengingatkan:


> “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...” (QS. Al-Maidah: 8)


Keadilan adalah inti dari demo sejati. Tanpa itu, ia hanya menjadi keramaian kosong atau alat provokasi.


Menafsirkan Demo, Menafsirkan Diri

Setiap kali saya melihat demo, ada rasa campur aduk dalam diri saya: kagum, cemas, sekaligus tertantang. Kagum karena ada keberanian rakyat untuk bersuara. Cemas karena potensi kerusuhan yang bisa muncul. Dan tertantang karena saya merasa ikut ditanya: sudahkah saya berlaku adil dalam kehidupan kecil saya sendiri?


Firman Allah seolah menatap langsung ke dalam hati saya:


> “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri...” (QS. An-Nisa: 135)


Ayat ini membuat saya sadar: bagaimana mungkin saya menuntut negara berlaku adil, jika saya sendiri sering lalai berlaku adil di lingkaran kecil saya—dalam keluarga, pekerjaan, atau pertemanan?


Penutup: Tafsir Demo sebagai Tafsir Kehidupan


Menafsirkan demo lewat Al-Qur’an dan analisis sosial terkini mengajarkan saya satu hal: demo bukan hanya peristiwa politik, melainkan juga refleksi spiritual. Ia adalah amar ma’ruf nahi munkar dalam skala sosial, sekaligus ujian kesabaran dan kedewasaan demokrasi.


Namun yang lebih penting, demo juga bisa kita baca sebagaidemo batin”—protes diri terhadap kebiasaan buruk, ketidakadilan kecil, atau kelemahan pribadi yang sering kita biarkan. Sebab sebelum kita menuntut negara menegakkan keadilan, kita harus berani menegakkannya dalam diri kita sendiri.


Maka, tafsir demo bagi saya bukan hanya tentang rakyat melawan penguasa, tetapi juga tentang manusia melawan dirinya: melawan kemalasan, ketidakjujuran, dan ketidakadilan yang bersemayam di hati. Itulah demo yang sesungguhnya, demo yang paling sunyi sekaligus paling berat.

Minggu, 07 September 2025

Tafsir Gerhana Bulan: Komparasi Filosofi Jawa dan Islam

Setiap kali gerhana bulan datang, langit seperti menyuguhkan drama yang membuat manusia terdiam. Bulan yang biasanya terang, perlahan tertutup bayangan bumi, tenggelam dalam gelap, lalu muncul kembali. Fenomena ini memang bisa dijelaskan dengan sains, tapi sejak dulu, manusia lebih suka membacanya dengan rasa—menjadikannya tanda, pertanda, bahkan peringatan. Begitu pula dalam tradisi Jawa dan Islam, gerhana dipahami dengan cara berbeda, namun keduanya sama-sama menawarkan ruang untuk merenung.


Dalam kosmologi Jawa, gerhana adalah peristiwa kala menelan bulan. Serat Kandha menuturkan:Kala anglangkung rembulan, dumadine pepeteng ing jagad — kala melintasi bulan, terjadilah kegelapan di dunia. Mitos ini menyiratkan pesan filosofis: manusia pun mengalami gerhana batin, ketika cahaya sejati tertutup oleh amarah dan nafsu. Karena itu, leluhur Jawa menempuh laku prihatin saat gerhana: semedi, tapa bisu, atau mengurangi kesenangan. Bagi mereka, mengheningkan diri adalah cara untuk menjaga harmoni jagad cilik (manusia) dengan jagad gede (alam semesta).


Islam memandang gerhana dengan terang lain. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Maka jika kalian melihatnya, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Di sini, gerhana tidak dikaitkan dengan mitos atau makhluk kosmis, melainkan dengan kesadaran tauhid: tanda kebesaran Allah yang mengingatkan manusia akan kefanaannya.


Bayangkan seorang pemuda di Yogyakarta duduk di teras rumah pada malam gerhana. Dari kejauhan, terdengar gamelan halus dari rumah tetangga yang masih menjaga tradisi Jawa, sementara dari masjid kampung, pengeras suara mengajak shalat khusuf. Ia menatap langit, teringat dua kisah: dari neneknya bahwa kala menelan bulan, dan dari gurunya bahwa gerhana adalah tanda kebesaran Allah. Dua tafsir itu bertemu di hatinya. Malam gerhana yang hening menjadi ruang kontemplasi: menjaga keseimbangan diri sekaligus mengingat Sang Pencipta.


Hari ini, sains memberi kita penjelasan yang jelas: gerhana bulan terjadi karena bumi menghalangi cahaya matahari menuju bulan. Namun pengetahuan itu tidak harus menghapus makna. Justru, ia memperkaya tafsir. Seperti orang Jawa dulu bersemedi, atau umat Islam shalat khusuf, kita pun bisa menjadikan gerhana sebagai jeda dari hiruk-pikuk modernitas: menutup gawai, melupakan rutinitas, dan memberi ruang bagi hati untuk hening.


Gerhana bulan, dengan caranya yang singkat dan sederhana, selalu memberi pelajaran: bahwa terang dan gelap datang silih berganti. Dari Jawa kita belajar menjaga harmoni jagad, dari Islam kita belajar mengingat Allah dan akhirat. Dua jalan berbeda, tetapi keduanya sama-sama menuntun manusia untuk menjadi bijak di bawah langit yang terus berubah.


Jumat, 05 September 2025

TAFSIR MAULID

 Maulid Itu Ya “Cangkeman”


Orang Jawa sering bilang:Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana.” Artinya, martabat seseorang bisa terlihat dari lisannya, dan penampilan fisiknya dari pakaiannya. Di titik ini, ada persinggungan indah antara falsafah Jawa dan keteladanan Nabi Muhammad SAW—sosok yang lisannya penuh kebaikan, lembut, dan jujur.

Kalau kita bicara soal Maulid Nabi, salah satu cara paling sederhana untuk meneladani beliau adalah menjaga ucapan kita. Atau dalam istilah Jawa: ngajeni cangkeman.


---


Cangkeman dan Teladan Nabi


Rasulullah SAW pernah bersabda:

> “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”

(HR. Bukhari & Muslim)


Hadis ini sejalan dengan nasihat leluhur Jawa: cangkeman iku bisa nggawa slamet utawa cilaka. Mulut bisa jadi pintu surga, tapi juga bisa menyeret ke neraka. Nabi sendiri menunjukkan bahwa kata-kata beliau selalu menghadirkan rahmat, bukan sakit hati.


---


Cangkeman di Zaman Digital

Di era medsos, cangkeman nggak lagi terbatas pada ucapan. Jempol kita di layar HP juga bagian dari lisan kita hari ini. Bedanya, sekali kita menulis atau membagikan sesuatu, dampaknya bisa lebih luas daripada sekadar bicara di warung kopi.


Makanya, Maulid Nabi di zaman now bisa kita maknai begini:

-Jangan gampang nyebar hoaks (QS. Al-Hujurat: 6 mengingatkan agar kita tabayun sebelum menyampaikan berita).

-Jangan saling mencela di kolom komentar (QS. Al-Hujurat: 11 melarang kita mengolok-olok orang lain).

-Gunakan medsos untuk berbagi motivasi, doa, dan kebaikan (seperti perintah Nabi: sampaikan dariku walau satu ayat – HR. Bukhari).

Dengan begitu, cangkeman kita jadi berkah dan bukan jadi sumber masalah.


---


Nguri-uri Budaya, Niru Nabi

Dalam budaya Jawa, tepa selira (tenggang rasa) adalah nilai luhur. Artinya, sebelum berbicara kita diajak mikir: apa kata-kata ini bakal bikin orang lain seneng, atau malah nyakitin?

Nilai ini sejalan banget dengan akhlak Nabi Muhammad yang penuh kasih sayang.

Bayangkan kalau Maulid kita isi bukan hanya dengan shalawatan, tapi juga tekad untuk menata cangkeman—baik di dunia nyata maupun dunia maya.


---


Refleksi Penulis


Sebagai penulis artikel ini, saya juga sadar betul bahwa saya hanyalah manusia biasa. Lisan saya pun masih sering khilaf, ucapan saya kadang belum sepenuhnya mencerminkan teladan Nabi. Saya menulis ini bukan karena sudah sempurna, tapi justru karena saya masih belajar. Menulis adalah cara saya untuk menasihati diri sendiri terlebih dahulu, lalu berbagi kepada siapa pun yang membaca.

Semoga Allah memberi kekuatan kepada kita semua untuk terus memperbaiki diri, menjaga ucapan, dan meneladani Nabi Muhammad SAW—sedikit demi sedikit, dari hal paling sederhana.



Penutup


Maulid Nabi mengingatkan kita bahwa keteladanan Rasulullah itu sederhana tapi dalam. Dan salah satu pintu terdekatnya ada di mulut kita. Maka, maulid itu ya cangkeman: bagaimana kita jaga lisan agar penuh kebaikan, agar selaras dengan teladan Nabi, dan agar hidup kita jadi rahmat bagi sekitar.

Karena pada akhirnya, seperti pepatah Jawa:

“Ajining diri saka lathi.”

Harga diri kita terletak pada kata-kata yang keluar dari mulut—dan dari jempol di layar.



---


📚 Referens:


Al-Qur’an Surat Al-Hujurat: 6 & 11

HR. Bukhari & Muslim tentang “berkata baik atau diam”

HR. Bukhari tentang “sampaikan dariku walau satu ayat”

Pepatah Jawa: Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana