Halaman

Sabtu, 01 November 2025

Tafsir Positive Vibes

Pernahkah kamu merasa lelah, bukan karena tubuh, tapi karena pikiran yang terus berputar di tempat yang sama?

Kita semua pernah ada di titik itu — di mana hidup terasa seperti tumpukan masalah yang datang bergantian tanpa jeda.
Namun di antara semua itu, ada satu hal yang sering kita lupakan: cara kita menafsirkan hidup menentukan bagaimana kita menjalaninya.

Tafsir Positive Vibes lahir dari kesadaran sederhana itu.
Bahwa setiap situasi, seberat apa pun, bisa menjadi ruang tumbuh jika kita menatapnya dengan hati yang tenang.
Dan dalam perjalanan ini, ada tiga hal yang bisa menjadi pijakan: fokus pada solusi, konsisten pada diri sendiri, dan menjadikan hutang sebagai investasi.


🌤️ Belajar Fokus pada Solusi

Masalah sering kali terasa lebih besar dari seharusnya, bukan karena kenyataannya, tapi karena cara kita menatapnya.
Semakin lama kita menatap luka, semakin dalam ia terasa.
Namun begitu kita menggeser pandangan sedikit saja, kita akan menemukan ruang baru — ruang untuk sembuh, untuk belajar, untuk beranjak.

Allah berfirman:

“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.”
(QS. Al-Insyirah [94]: 6)

Ayat ini tidak sedang menenangkan kita dengan janji manis. Ia sedang mengajak kita berpikir berbeda — bahwa kemudahan tidak datang setelah kesulitan, melainkan bersamanya.
Masalah dan solusi diciptakan beriringan; tinggal bagaimana kita memilih untuk melihatnya.

Fokus pada solusi bukan berarti menolak kenyataan.
Ia berarti menerima bahwa kehidupan akan selalu punya ujian, tetapi kita tidak harus menjadi korban dari ujian itu.
Kita bisa memilih menjadi pembelajar.

“Masalah adalah peta, solusi adalah arah. Dan kita adalah pengemudi yang menentukan mau jalan ke mana.”


🌿 Tetap Konsisten pada Diri Sendiri

Begitu kita mulai menata arah, datanglah tantangan lain: bagaimana tetap menjadi diri sendiri di tengah suara dunia yang begitu ramai.

Konsistensi bukan berarti keras kepala, bukan pula enggan berubah.
Ia adalah kemampuan untuk tumbuh tanpa kehilangan akar.
Untuk tetap mendengar suara hati meski di luar sana semua orang sedang berteriak.

Allah berfirman:

“Maka tetaplah engkau (Muhammad) pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu...”
(QS. Hud [11]: 112)

Ayat ini terasa begitu lembut, tapi dalam maknanya tersimpan kekuatan besar.
“Tetaplah,” kata Allah — sebuah perintah yang sekaligus pelukan.
Seolah Ia ingin berkata: tetaplah menjadi dirimu, tetaplah di jalan yang kau yakini, bahkan saat dunia tak lagi mendukungmu.

Konsisten pada diri sendiri adalah bentuk cinta — cinta pada nilai, pada proses, pada perjalanan yang tak selalu mudah tapi selalu jujur.
Karena pada akhirnya, yang membuat kita damai bukanlah menjadi sempurna, tapi menjadi autentik.

“Kamu tak harus selalu berkilau. Cukup jadi cahaya yang tak padam di dalam dirimu.”


💫 Jadikan Hutang Sebagai Investasi

Kata hutang sering membuat banyak orang menunduk — terasa berat, menakutkan, bahkan memalukan.
Namun, jika kita melihat lebih dalam, hutang tidak selalu tentang uang.
Kadang kita berhutang waktu pada diri sendiri, menunda istirahat demi pekerjaan.
Berhutang maaf pada hati yang belum kita tenangkan.
Atau berhutang janji pada impian yang belum kita jalani.

Dalam pandangan positive vibes, hutang bukan beban.
Ia adalah pengingat, pelatih kesabaran, dan modal pertumbuhan.

Allah berfirman:

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia lapang. Dan bersedekahlah (memberi kelonggaran), itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 280)

Ayat ini mengajarkan kelembutan: bahwa dalam setiap hutang, ada ruang untuk kebaikan, empati, dan kemanusiaan.
Bagi yang berhutang, itu latihan untuk jujur dan disiplin.
Bagi yang memberi, itu kesempatan untuk bersedekah dengan sabar.

Jika disikapi dengan bijak, hutang bisa menjadi investasi spiritual — menumbuhkan kepekaan, keuletan, dan rasa syukur.
Karena pada akhirnya, pelunasan bukan sekadar menutup tanggungan, tapi menyempurnakan pembelajaran.

“Setiap hutang adalah janji untuk tumbuh. Dan setiap pelunasan adalah bentuk syukur karena telah diberi kesempatan untuk belajar.”


🌺 Penutup: Jiwa yang Tenang

Tafsir Positive Vibes bukan tentang menolak realitas, tapi tentang menerima hidup apa adanya sambil tetap memilih sikap terbaik.
Fokus pada solusi menuntun kita keluar dari kegelapan.
Konsisten pada diri sendiri menjaga cahaya kita tetap menyala.
Dan menjadikan hutang sebagai investasi membantu kita tumbuh dengan rendah hati.

Positive vibes sejati bukan sekadar merasa baik — tapi keputusan untuk tetap berpikir jernih, bertindak dengan cinta, dan mempercayai bahwa setiap hal terjadi untuk alasan yang baik.

Dan mungkin, ketika kita sudah cukup berlatih menerima dan belajar dari semua ini, jiwa kita akan sampai pada keadaan yang paling indah seperti firman Allah dalam Surah Al-Fajr:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
“Wahai jiwa yang tenang.”
(QS. Al-Fajr [89]: 27)

Sebuah panggilan lembut dari Tuhan untuk jiwa yang telah belajar berjalan dengan sabar, berjuang tanpa kehilangan arah, dan akhirnya menemukan ketenangan di tengah segala ketidakpastian.

Karena sejatinya, hidup ini bukan soal terbebas dari masalah,
tapi soal bagaimana kita menafsirkan setiap getarannya —
menemukan kedamaian di antara riuhnya dunia. 🌸

Rabu, 01 Oktober 2025

Tafsir Kesaktian Pancasila

Pendahuluan

Pancasila bukan hanya dasar negara. Ia adalah roh bangsa yang mengikat perbedaan, merajut persatuan, dan menuntun arah perjalanan Indonesia. Dalam sejarah, Pancasila telah berkali-kali diuji: pemberontakan, krisis politik, gempuran ideologi asing, hingga derasnya arus globalisasi. Namun, Pancasila tetap tegak.

Inilah yang kita sebut kesaktian Pancasila: bukan dalam arti gaib atau mistis, melainkan kekuatan moral dan spiritual yang membuat bangsa ini tidak mudah runtuh.


Mengapa Disebut “Sakti”?

-Kesaktian Pancasila lahir dari daya hidupnya yang selalu relevan.

-Ketuhanan menjaga agar bangsa ini tetap berakar pada nilai ilahi, meski berbeda agama.

-Kemanusiaan mengingatkan bahwa setiap orang berharga, tanpa memandang suku atau status.

-Persatuan mengikat ratusan etnis, bahasa, dan budaya menjadi satu rumah bernama Indonesia.

-Kerakyatan memberi ruang bagi demokrasi yang bersumber dari musyawarah, bukan pemaksaan.

-Keadilan Sosial menuntun agar kekayaan negeri ini dinikmati bersama, bukan segelintir orang.


Kesaktian Pancasila tampak nyata ketika bangsa ini mampu melewati masa-masa sulit. Dari perlawanan terhadap kolonialisme, tragedi perpecahan, hingga krisis ekonomi—Indonesia selalu bisa bangkit, karena Pancasila menjadi pegangan bersama.


Jejak Filosofi Jawa

Dalam falsafah Jawa, ada pepatah: “Memayu hayuning bawana”—membuat dunia lebih indah dan harmonis (Notonagoro, 1975). 

Pancasila adalah pengejawantahan ajaran ini. Ia sakti karena tidak memecah, melainkan merawat keseimbangan.

Ada pula pitutur:Sapa sing nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake—menang tanpa harus merendahkan lawan. Inilah wajah Persatuan Indonesia: sakti karena mampu mengalahkan ego tanpa kekerasan, melainkan dengan kebijaksanaan.


Kesaktian Pancasila bukan karena kekuatan senjata, tetapi karena kekuatan nilai-nilai yang tertanam dalam hati rakyat (Kaelan, 2013).


Refleksi Penulis

Kesaktian Pancasila bagi saya bukan sekadar sejarah 1 Oktober yang diperingati setiap tahun. Ia nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Saya melihat kesaktiannya saat tetangga yang berbeda agama saling membantu membangun rumah. Saya merasakan kesaktiannya ketika warga desa bergotong royong memperbaiki jalan. Saya mendengar napasnya di kelas, ketika anak-anak belajar bersama tanpa peduli asal-usul.

Pancasila sakti karena hidup di hati rakyat. Ia bukan semboyan kosong, melainkan nyala kecil yang menjaga bangsa ini tetap ada.

Pepatah Jawa berkata: “Urip iku urup”—hidup itu menyala. Pancasila sakti karena membuat hidup bangsa ini tetap menyala, meski diterpa angin kencang.


Puisi Jawa: Geni Kang Ora Padam

Ing tanah amba aran Nusantara,

lima pepadhang metu saka siji jiwa.

Menyala kaya obor ing petenging wengi,

njaga lakon, supaya ora kesasar dalan.


Ketuhanan, srengenge esuk kang madhangi,

anget tanpa milih sapa kang ngrasakake.


Kemanusiaan, koyok semilir angin seger,

ngelus pasuryan kang kesel lan lelah.


Persatuan, koyok segara jembar,

nglumpukake ombak, arus, lan karang dadi siji.


Kerakyatan, koyok wit beringin,

pangayoman kanggo kabeh, tanpa pilih rupa.


Keadilan, kaya lemah subur,

maringi woh tumrap saben sing nandur.


Iki kesaktiane Pancasila—

geni kang ora tau padam,

sanadjan udan deres, sanadjan angin ribut,

isih murup, krono dijogo karo atine anak bangsa.





---


Rujukan:

Bung Karno (1945), Lahirnya Pancasila (Pidato 1 Juni).

Notonagoro (1975), Pancasila secara Ilmiah Populer.

Kaelan (2013), Pendidikan Pancasila.

Magnis-Suseno (2016), Etika Politik.

Falsafah Jawa: Memayu hayuning bawana, Sapa sing nglurug tanpa bala, Urip iku urup.


Kamis, 25 September 2025

Manusia Itu Ibarat Tambang Emas dan Perak

Suatu ketika Rasulullah ﷺ bersabda:

Manusia itu laksana tambang, seperti tambang emas dan perak.”

(HR. Muslim)


Bayangkan sebuah tambang. Dari luar, yang tampak hanyalah tanah, batu, atau debu. Tidak ada yang istimewa. Tapi siapa sangka, di balik gundukan tanah itu tersimpan emas atau perak yang nilainya tak ternilai. Untuk mendapatkannya, orang harus menggali dalam-dalam, dengan sabar, penuh kerja keras.

Begitu pula manusia.

Kadang kita melihat seseorang hanya dari luarnya: penampilan, latar belakang, atau masa lalunya. Kita menilai cepat, bahkan meremehkan. Padahal, bisa jadi dalam dirinya tersimpan potensi luar biasa yang belum muncul ke permukaan.

---


Kisah Umar bin Khattab: Dari Keras Menjadi Tegas


Kita bisa belajar dari kisah Umar bin Khattab r.a. Sebelum masuk Islam, Umar dikenal keras, bahkan pernah berniat membunuh Nabi ﷺ. Kalau kita menilai Umar hanya dari sisi itu, mungkin kita akan berkata: “Tidak ada harapan untuknya.”

Namun ketika hidayah Allah menyapa hatinya, sifat keras itu berubah menjadi ketegasan yang menegakkan kebenaran. Potensi besar Umar yang dulu tersembunyi akhirnya tergali. Dari seorang yang ditakuti karena kebengisannya, Umar berubah menjadi pemimpin adil yang membuat setan pun gentar lewat jalannya.

Ini bukti bahwa setiap manusia memang seperti tambang. Ada yang masih tertutup tanah, ada yang sudah terlihat kilaunya, dan ada pula yang sedang digali.

---


Kita Semua Punya Emas


Hadits ini juga mengingatkan bahwa tidak semua manusia sama, tapi semua berharga. Ada yang bakatnya seperti emas: berkilau, mencolok, mudah terlihat. Ada pula yang seperti perak: mungkin lebih sederhana, tapi tetap bernilai.

Ada yang kuat dalam ilmu, ada yang menonjol dalam amal, ada yang sederhana namun penuh ketulusan. Setiap orang membawa warna dan perannya masing-masing dalam kehidupan.

---


Refleksi Kecil Penulis


Saat penulis merenungkan hadits ini, hati bergetar. Betapa sering kita menilai orang lain dari tampilan luarnya, lalu terburu-buru melabeli: “Dia tidak bisa apa-apa”, “Dia biasa saja”, atau bahkan “Dia tidak ada harapan.”

Padahal, siapa tahu Allah sedang menyimpan “emas” dalam dirinya, menunggu waktu untuk muncul.

Dan jujur, terkadang penulis juga merasa kecil. Ada rasa minder, seolah diri ini tidak punya apa-apa dibanding orang lain. Tapi hadits ini seperti bisikan lembut dari Nabi ﷺ: “Dalam dirimu ada tambang berharga. Gali, asah, dan gunakanlah untuk kebaikan.”


---


Menjadi Tambang yang Bermanfaat


Akhirnya, hadits ini bukan hanya ajakan untuk menghargai orang lain, tapi juga untuk tidak meremehkan diri sendiri. Kita semua punya potensi, hanya saja berbeda bentuk dan nilainya. Yang penting adalah bagaimana kita menggali, menjaga, dan mengarahkannya ke jalan yang benar.


Karena emas dan perak baru bernilai ketika ia dimanfaatkan, begitu pula potensi manusia: ia berharga ketika digunakan untuk memberi manfaat bagi orang lain.


Doa Penutup

Sebagai penutup renungan ini, marilah kita hadiahkan shalawat kepada junjungan kita, Nabi Muhammad ﷺ.

Salah satu shalawat yang telah di Ijazahkan oleh K.H AN'IM Falahuddin Mahrus dalam acara Studium General. Dalam hal ini, penulis akan berusaha mengamalkan apa yang telah di Ijazahkan oleh beliau. 


Lafaz Shalawat Fatih

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ، وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ، وَالنَّاصِرِ الْحَقَّ بِالْحَقِّ، وَالْهَادِي إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيمِ، وَعَلَى آلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيمِ.


Terjemahannya;

“Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad ﷺ, yang membuka apa yang terkunci, yang menutup apa yang telah lalu, yang membela kebenaran dengan kebenaran, dan yang menunjukkan kepada jalan-Mu yang lurus. Semoga rahmat itu juga tercurah kepada keluarga beliau, dengan hak kedudukan dan kemuliaan beliau yang agung.”

---



✨ Semoga dengan shalawat ini Allah membuka potensi terbaik dalam diri kita, mengarahkannya untuk kebaikan, dan menjadikannya cahaya yang bermanfaat bagi sesama.


Minggu, 21 September 2025

Nek Ora Sehat, Ora Bermanfaat

Sehat Itu Modal untuk Beribadah

Orang Jawa sering bilang: “Nek ora sehat, ora bermanfaat.” Artinya, kalau tubuh kita tidak sehat, maka sulit untuk berbuat kebaikan bagi orang lain. Sehat bukan cuma soal badan yang kuat, tapi juga hati yang tenang dan pikiran yang jernih.


Dalam Islam, menjaga kesehatan adalah bagian dari ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah." (HR. Muslim).


Sehat itu bukan sekadar bonus hidup, tapi modal utama untuk menjalankan amanah sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.


Allah juga mengingatkan:

"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan." (QS. Al-Baqarah: 195).


Ayat ini jadi dasar bahwa menjaga kesehatan adalah kewajiban agar kita tetap bisa beribadah dan memberi manfaat.


Ilmu, Agama, dan Kesehatan

Bayangkan kalau kita punya ilmu, punya semangat untuk berdakwah, tapi badan kita lemah karena lalai menjaga kesehatan. Dakwah bisa terhambat, ilmu tidak tersampaikan, bahkan ibadah pun jadi berat.

Itulah sebabnya ilmu, agama, dan kesehatan harus berjalan bersama. Ilmu memberi arah, agama memberi nilai, sementara kesehatan memberi energi untuk mewujudkannya.


Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat." (HR. Bukhari).


Dan Allah berfirman:

"Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS. An-Nahl: 125).

Sebagaimana nasihat yang di sampaikan oleh Kyai dari "kota Tahu" bahwa ;

 نشر العلم و الدين لإعلاء كلمات الله

Dari sini jelas bahwa menyebarkan ilmu dan agama, meski sedikit, adalah bagian dari meninggikan kalimat Allah.


Kisah Guru Ngaji

Ada seorang guru ngaji di kampung kecil. Beliau rajin mengajar anak-anak setiap sore di serambi rumahnya. Tapi suatu waktu, beliau jatuh sakit karena terlalu memaksakan diri, padahal usianya sudah lanjut. Akhirnya, pengajian terpaksa berhenti sementara.

Anak-anak merasa kehilangan, karena ilmu yang biasanya mereka dapatkan terhenti. Dari situ, kita bisa belajar: kesehatan guru itu bukan hanya urusan pribadi, tapi juga menentukan keberlangsungan ilmu dan manfaat bagi orang lain.


Cara Menjaga Sehat Supaya Bisa Bermanfaat


Menjaga kesehatan tidak harus rumit. Mulai dari hal-hal kecil:

Tidur cukup dan jangan begadang tanpa alasan penting.

Makan yang halal dan baik, tidak berlebihan.

Olahraga ringan secara rutin.

Jaga hati dan pikiran, karena stres juga bikin tubuh lemah.


Dengan tubuh yang sehat, kita bisa lebih semangat belajar, mengajar, bekerja, dan berdakwah.


Refleksi Penulis

Menulis tema ini membuat saya merenung. Saya sering sibuk mengejar ilmu, berkegiatan, atau menulis, tapi kadang lupa menjaga badan sendiri. Padahal, kalau saya sakit, tulisan terhenti, dakwah terhenti, dan manfaat pun ikut berhenti.

Saya jadi sadar, menjaga kesehatan itu bukan egois. Justru dengan menjaga diri, saya bisa terus berbagi. Semoga Allah memberi kita kekuatan agar sehat lahir batin, sehingga setiap langkah kita bisa bernilai manfaat.


Penutup

Nek ora sehat, ora bermanfaat. Ungkapan sederhana ini ternyata menyimpan makna besar. Sehat bukan tujuan akhir, tapi jalan agar kita bisa lebih banyak berbuat baik, menyebarkan ilmu, dan menegakkan kalimat Allah.


Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barang siapa menunjukkan jalan kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang mengerjakannya." (HR. Muslim).

Dan Allah menegaskan:

"Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat." (QS. Al-Mujadilah: 11).


Artinya, menyebarkan ilmu dan agama itu sama dengan membuka jalan hidayah bagi orang lain, sekaligus meninggikan kalimat Allah. Dan untuk bisa konsisten melakukannya, kita butuh tubuh yang sehat serta hati yang kuat.

Sabtu, 13 September 2025

Wohing Pakarti: Menanam Perbuatan, Menuai Kehidupan

Pengantar

Orang Jawa punya banyak pitutur luhur yang tidak lekang dimakan zaman. Salah satunya adalah falsafah wohing pakarti. Meski terdengar sederhana, ungkapan ini menyimpan nasihat mendalam: bahwa hidup kita sesungguhnya adalah hasil dari apa yang kita lakukan. Menariknya, falsafah ini sejalan dengan pesan-pesan Al-Qur’an yang juga menekankan pentingnya tanggung jawab manusia atas setiap amal perbuatannya.

Makna Wohing Pakarti

Secara harfiah, wohing berarti buah atau hasil, sementara pakarti berarti perbuatan atau perilaku. Jadi, wohing pakarti bisa dipahami sebagai “buah dari perbuatan.” Falsafah ini mengajarkan bahwa tidak ada tindakan manusia yang sia-sia. Apa pun yang kita lakukan akan kembali kepada kita, entah dalam bentuk kebaikan atau keburukan.

Orang Jawa dulu sering menasehatkan,sing becik ketitik, sing olo ketara — yang baik akan tampak, yang buruk akan terlihat. Ini sejalan dengan prinsip bahwa pada akhirnya, semua perilaku akan memperlihatkan hasilnya.


Dalam Cahaya Al-Qur’an

Al-Qur’an memberikan penguatan bahwa setiap amal manusia akan mendapat balasan yang setimpal.

Balasan sekecil apapun perbuatan:

“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az-Zalzalah [99]: 7-8)

Kebaikan kembali pada pelakunya:

“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri, dan barang siapa berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri. Dan Tuhanmu tidak pernah menzalimi hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushshilat [41]: 46)

Ayat-ayat ini seakan menjadi penjelasan langsung atas makna wohing pakarti. Apa yang kita tanam dalam hidup, itulah yang akan kita tuai.


Sebuah Kisah

Ada seorang pedagang kecil di pasar tradisional. Ia dikenal jujur, meski barang dagangannya sederhana. Kadang ia memberi sedikit tambahan untuk pembeli, sambil berkata, Mugi Barokah.” Orang-orang pun merasa nyaman dan percaya padanya.

Beberapa tahun kemudian, usahanya berkembang. Banyak orang merekomendasikan dagangannya, bukan karena iklan atau promosi, melainkan karena ketulusan dan kejujurannya. Inilah buah nyata dari wohing pakarti: kejujuran kecil yang ditanam setiap hari berbuah menjadi keberkahan yang besar.

Sebaliknya, kita juga sering melihat contoh sebaliknya—orang yang terbiasa curang atau menipu. Mungkin awalnya tampak untung, tetapi lambat laun akan kehilangan kepercayaan, bahkan merusak hidupnya sendiri.


Filosofi Hidup

Falsafah wohing pakarti mengandung pesan filosofis yang relevan sepanjang zaman:

1. Hidup adalah tanggung jawab pribadi. Tidak ada yang bisa lari dari akibat perbuatannya sendiri.

2. Perilaku kecil pun punya dampak. Senyum tulus, kata-kata baik, atau sebaliknya—ucapan kasar—semua akan kembali kepada kita.

3. Keadilan Tuhan bersifat sempurna. Allah tidak pernah menzalimi, manusia sendirilah yang menentukan jalannya dengan amalnya.

Dengan menyadari hal ini, kita diajak untuk hidup lebih waspada, bijak, dan penuh pertimbangan.


Relevansi untuk Masa Kini

Di era modern yang serba cepat, banyak orang ingin hasil instan. Padahal falsafah wohing pakarti mengingatkan: proses dan perilaku menentukan hasil.

Kejujuran di tempat kerja akan berbuah kepercayaan.

Kedisiplinan dalam belajar akan menghasilkan prestasi.

Sebaliknya, kelalaian akan berbuah penyesalan.

Jika setiap orang sadar bahwa semua tindakannya akan kembali pada dirinya, tentu ia akan lebih berhati-hati dalam bersikap, lebih menghargai orang lain, dan lebih menjaga harmoni bersama.


Refleksi Penulis

Saat menuliskan artikel ini, saya teringat pada diri sendiri: seringkali kita menginginkan hasil besar tanpa sadar bahwa yang paling menentukan justru hal-hal kecil yang kita lakukan setiap hari. Ucapan yang santun, sikap yang tulus, atau kebiasaan disiplin—itulah benih-benih yang kelak menjadi “buah kehidupan.”

Saya pun merenung, jangan-jangan banyak masalah dalam hidup ini adalah wohing pakarti dari kesalahan atau kelalaian kita di masa lalu. Sebaliknya, kebaikan yang datang kepada kita juga mungkin adalah buah dari amal-amal kecil yang pernah kita tanam.

Falsafah Jawa dan pesan Al-Qur’an sama-sama mengingatkan: kita tidak bisa mengelak dari tanggung jawab. Maka yang bisa kita lakukan hanyalah terus menanam kebaikan, sambil berharap Allah menumbuhkan dan memberkahi buahnya.


Penutup

Wohing pakarti bukan sekadar pepatah Jawa kuno, melainkan kearifan yang hidup dan terus relevan. Ia mengajarkan bahwa kita adalah penanam sekaligus pemetik dari kebun kehidupan kita sendiri. Al-Qur’an pun menegaskan hal yang sama: tidak ada amal yang hilang, semua akan kembali kepada pelakunya.

Dengan menghayati falsafah ini, kita bisa menjalani hidup dengan lebih sadar, bijak, dan selaras dengan kehendak Ilahi. Karena pada akhirnya, hidup adalah tentang apa yang kita tanam—dan apa yang kita tuai.


---


Kutipan Tembang Jawa

Ngelmu iku kalakone kanthi laku,

lekase lawan kas, tegese kas nyantosani,

setya budya pangekese dur angkara.”

(Serat Wedhatama, Pupuh Pangkur)

Terjemahan bebas (bahasa Indonesia):

Ilmu itu dapat terlaksana dengan perbuatan,

dimulai dengan tekad kuat yang menguatkan hati,

dan kesungguhan budi yang mampu menundukkan sifat angkara.

Kutipan ini sejalan dengan falsafah wohing pakarti: ilmu, niat, dan kebaikan baru berbuah jika diwujudkan dalam tindakan nyata.


Jumat, 12 September 2025

Tafsir Demo: Antara Suara Rakyat, Ayat, dan Renungan Diri

Demo atau demonstrasi sering dipahami hanya sebagai kerumunan massa yang memenuhi jalanan, mengangkat poster, dan berteriak lantang. Namun, jika direnungkan lebih dalam, demo adalah sebuah teks sosial yang sarat makna. Ia adalah bahasa rakyat ketika saluran formal tak lagi mampu menampung aspirasi. Ia juga merupakan cermin relasi antara rakyat dan penguasa, bahkan—jika kita mau jujur—cermin diri kita sendiri.


Demo sebagai Suara Kebenaran

Al-Qur’an menegaskan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar:


> “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)


Dalam konteks sosial-politik hari ini, demo bisa dibaca sebagai bentuk nyata dari ayat ini. Ia adalah panggilan kolektif rakyat untuk mengingatkan penguasa, menolak kezaliman, atau menuntut keadilan. Setiap spanduk, orasi, bahkan lokasi yang dipilih, adalah simbol yang berbicara lebih keras daripada kata-kata di meja birokrasi.


Namun, demo juga bukan tanpa risiko. Di sinilah kita diingatkan:


> “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya...” (QS. Al-A’raf: 56)


Demo yang damai adalah bagian dari upaya menegakkan kebenaran, tetapi ketika berubah menjadi anarki, maknanya bisa terdistorsi.


Demo di Era Digital

Seiring perkembangan teknologi, demo kini tidak hanya berlangsung di jalan raya, melainkan juga di ruang virtual. Gerakan #ReformasiDikorupsi, Black Lives Matter, hingga aksi-aksi iklim global menunjukkan bagaimana media sosial menjadi ruang mobilisasi.


Namun, di balik itu, lahir juga fenomena “aktivisme instan”: sekadar membagikan unggahan tanpa benar-benar terlibat dalam perjuangan nyata. Di sinilah relevan firman Allah:


> “Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Saff: 2-3)


Ayat ini menegur saya secara pribadi: sudahkah saya benar-benar terlibat, atau hanya menjadi pengamat pasif?


Demo, Krisis Kepercayaan, dan Politik

Di Indonesia, demo biasanya muncul saat ada krisis kepercayaan terhadap negara: pengesahan undang-undang kontroversial, ketidakadilan hukum, atau beban ekonomi rakyat. Demo adalah alarm sosial—tanda bahwa komunikasi antara rakyat dan pemerintah sedang tidak sehat.


Namun, kita juga tahu, demo sering dibajak kepentingan politik. Isu yang lahir dari kegelisahan rakyat kadang dipolitisasi, sehingga substansi aspirasi tereduksi. Dalam hal ini, ayat Allah mengingatkan:


> “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...” (QS. Al-Maidah: 8)


Keadilan adalah inti dari demo sejati. Tanpa itu, ia hanya menjadi keramaian kosong atau alat provokasi.


Menafsirkan Demo, Menafsirkan Diri

Setiap kali saya melihat demo, ada rasa campur aduk dalam diri saya: kagum, cemas, sekaligus tertantang. Kagum karena ada keberanian rakyat untuk bersuara. Cemas karena potensi kerusuhan yang bisa muncul. Dan tertantang karena saya merasa ikut ditanya: sudahkah saya berlaku adil dalam kehidupan kecil saya sendiri?


Firman Allah seolah menatap langsung ke dalam hati saya:


> “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri...” (QS. An-Nisa: 135)


Ayat ini membuat saya sadar: bagaimana mungkin saya menuntut negara berlaku adil, jika saya sendiri sering lalai berlaku adil di lingkaran kecil saya—dalam keluarga, pekerjaan, atau pertemanan?


Penutup: Tafsir Demo sebagai Tafsir Kehidupan


Menafsirkan demo lewat Al-Qur’an dan analisis sosial terkini mengajarkan saya satu hal: demo bukan hanya peristiwa politik, melainkan juga refleksi spiritual. Ia adalah amar ma’ruf nahi munkar dalam skala sosial, sekaligus ujian kesabaran dan kedewasaan demokrasi.


Namun yang lebih penting, demo juga bisa kita baca sebagaidemo batin”—protes diri terhadap kebiasaan buruk, ketidakadilan kecil, atau kelemahan pribadi yang sering kita biarkan. Sebab sebelum kita menuntut negara menegakkan keadilan, kita harus berani menegakkannya dalam diri kita sendiri.


Maka, tafsir demo bagi saya bukan hanya tentang rakyat melawan penguasa, tetapi juga tentang manusia melawan dirinya: melawan kemalasan, ketidakjujuran, dan ketidakadilan yang bersemayam di hati. Itulah demo yang sesungguhnya, demo yang paling sunyi sekaligus paling berat.

Minggu, 07 September 2025

Tafsir Gerhana Bulan: Komparasi Filosofi Jawa dan Islam

Setiap kali gerhana bulan datang, langit seperti menyuguhkan drama yang membuat manusia terdiam. Bulan yang biasanya terang, perlahan tertutup bayangan bumi, tenggelam dalam gelap, lalu muncul kembali. Fenomena ini memang bisa dijelaskan dengan sains, tapi sejak dulu, manusia lebih suka membacanya dengan rasa—menjadikannya tanda, pertanda, bahkan peringatan. Begitu pula dalam tradisi Jawa dan Islam, gerhana dipahami dengan cara berbeda, namun keduanya sama-sama menawarkan ruang untuk merenung.


Dalam kosmologi Jawa, gerhana adalah peristiwa kala menelan bulan. Serat Kandha menuturkan:Kala anglangkung rembulan, dumadine pepeteng ing jagad — kala melintasi bulan, terjadilah kegelapan di dunia. Mitos ini menyiratkan pesan filosofis: manusia pun mengalami gerhana batin, ketika cahaya sejati tertutup oleh amarah dan nafsu. Karena itu, leluhur Jawa menempuh laku prihatin saat gerhana: semedi, tapa bisu, atau mengurangi kesenangan. Bagi mereka, mengheningkan diri adalah cara untuk menjaga harmoni jagad cilik (manusia) dengan jagad gede (alam semesta).


Islam memandang gerhana dengan terang lain. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Maka jika kalian melihatnya, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Di sini, gerhana tidak dikaitkan dengan mitos atau makhluk kosmis, melainkan dengan kesadaran tauhid: tanda kebesaran Allah yang mengingatkan manusia akan kefanaannya.


Bayangkan seorang pemuda di Yogyakarta duduk di teras rumah pada malam gerhana. Dari kejauhan, terdengar gamelan halus dari rumah tetangga yang masih menjaga tradisi Jawa, sementara dari masjid kampung, pengeras suara mengajak shalat khusuf. Ia menatap langit, teringat dua kisah: dari neneknya bahwa kala menelan bulan, dan dari gurunya bahwa gerhana adalah tanda kebesaran Allah. Dua tafsir itu bertemu di hatinya. Malam gerhana yang hening menjadi ruang kontemplasi: menjaga keseimbangan diri sekaligus mengingat Sang Pencipta.


Hari ini, sains memberi kita penjelasan yang jelas: gerhana bulan terjadi karena bumi menghalangi cahaya matahari menuju bulan. Namun pengetahuan itu tidak harus menghapus makna. Justru, ia memperkaya tafsir. Seperti orang Jawa dulu bersemedi, atau umat Islam shalat khusuf, kita pun bisa menjadikan gerhana sebagai jeda dari hiruk-pikuk modernitas: menutup gawai, melupakan rutinitas, dan memberi ruang bagi hati untuk hening.


Gerhana bulan, dengan caranya yang singkat dan sederhana, selalu memberi pelajaran: bahwa terang dan gelap datang silih berganti. Dari Jawa kita belajar menjaga harmoni jagad, dari Islam kita belajar mengingat Allah dan akhirat. Dua jalan berbeda, tetapi keduanya sama-sama menuntun manusia untuk menjadi bijak di bawah langit yang terus berubah.